Untouchable

794 44 2
                                    

"Selamat pagi, Rinka," sapaku ketika Arinka muncul di ambang pintu rumahnya. Arinka menggunakan hotpants dan kaos putih longgar yang mengekspos sisi bahunya. Ia memilah rambut dengan jarinya seperti biasa. Helai rambut Arinka jatuh perlahan ke sisi kepala. Menambah kesan seksinya.

"Mas Radhi ngapain ke sini?," tanya Arinka setelah mempersilahkan aku masuk.

"Biasa ngapelin gebetan." Kunaikkan alis menggoda Arinka.

Setelah insiden perginya Kinan ke Anyer tanpa memberi kabar pada siapapun, aku dan Arinka bisa dibilang jadi lebih dekat. Kinan merupakan sahabat karib Arinka. Kinan dan Satrya-teman seperjuanganku- menjalin hubungan asmara sekarang. Tinggal aku dan Arinka, berjodohkah kami? Semoga saja.

Ya, walaupun Arinka belum sepenuhnya berubah, masih jutek saja. Bikin gemas.

"Emang nggak ada rumah lain yang butuh diapelin?," ucap Arinka.

"Ya enggaklah. Kan PDKT-nya sama kamu. Hehe."

"Siapa, sayang?," ucap seorang wanita paruh baya dari belakang Arinka. "Teman kamu ya?"

Aku perkirakan ini mamanya Arinka. "Hai, Tante. Saya Radhi, temannya Arinka." Kusalami tangan beliau.

"Oh ya? Saya ibunya Arinka," kenalnya ramah. "Ganteng dan sopan, Nak Radhi ini."

Menanggapi pujian mamanya, Arinka memutar bola matanya tanda kurang setuju.

"Ah Tante bisa saja."

Seorang lelaki paruh baya muncul dari pintu samping. Sesampai dibelakang mamanya Arinka, Beliau merangkulkan tangan kirinya di bahu Tante. "Ya udah. Om dan Tante tinggal dulu ya. Ada arisan keluarga di Jakarta."

"Iya. Hati-hati di jalan ya, om, tante," ucapku setelah mereka mencium kening Arinka untuk berpamitan.

"Cari perhatian banget sih," sindir Arinka setelah aku duduk.

"Namanya juga cari muka sama calon mertua."

"Mimpi," cibirnya membuatku mendengus geli.

Arinka menaruh dua cangkir teh di meja dan duduk di kursi depanku. "Makasih, calon istri."

Kulihat Arinka sedikit merona. "Ge-er deh."

"Weekend depan ada acara nggak?"

"Kayanya enggak deh. Beberapa weekend ini memang lembur. Tapi weekend depan nggak pake lembur kayanya. Udah hampir kelar kerjaan. Kenapa?"

"Kita dinner yuk. Denger-denger ada restoran prancis buka cabang di Bogor. Mau nggak?"

"Boleh. Mas Radhi traktir, kan?"

"Siap."

=*=*=

"Bengong aja lu, mat," tegur Ganesh.

Sekarang adalah waktu istirahat makan siang. Beberapa rekan kerja berkumpul di warung depan kantor. Aku pun termasuk di antara mereka yang menikmati makan siang.

"Mikirin cewek gopek kali," celetuk Ghilman yang setelahnya menyeruput kopinya.

Cewek gopek itu sebutan untuk Arinka setelah insiden sepik-sepik konyolku ke Arinka dulu. Waktu itu aku merayu Arinka minta kenalan yang berujung dikiranya aku melucu di depan Arinka. Diberikannya aku uang logam lima ratus perak. Tapi aku tak menyesalinya, insiden itu titik balik dari kedekatan kami-aku dan Arinka.

Mulanya hanya memandangi Arinka tanpa berani menegurnya, meminta kenalan sampai memutari kompleks rumah Kinan untuk mencari rumah Arinka-tak membuahkan hasil. Meminta nomor telepon pada Arinka langsung malah diberi kode biner. Meminta alamat rumah diberi geolocatian. Walaupun cukup pusing dibuatnya, malah semakin aku penasaran tentangnya.

UntouchableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang