2. "Tirai kenyataan"

9 1 0
                                    

Suaranya yang berat itu masih terngiang di telingaku. Aku bisa merasakan bahwa lelaki itu tertawa meyepelekan aku. "hufftt" harusnya aku tidak memulai ini. Aku seharusnya sadar diri, aku bukan dari bagian mereka.


"Kenapa kamu bilang aku ngejar kamu? Kamu lucu sekali" kata pria itu lewat telepon. Aku bisa tahu, bahwa sekarang dia tengah tersenyum merendahkan aku.

Aku malu. Aku tidak bermaksud untuk mengarang cerita atau merasa dicintai olehnya. Aku hanya bingung ketika seseorang datang padaku bertanya hubungan kami, yang menurutku kami seperti 'kekasih'. "Aku cuman bilang yang sebenarnya. Kakak itu yang nanyak, aku bingung. Ya aku jawab, kamu ada nembak aku. Tiga kali malah. Tapi aku nolak" jawabku kesal, Tapi jujur,mataku sudah mulai berkaca-kaca.

"Ngapain kamu sampaikan seperti itu sama  Rita? Kamu sengaja ya?"

"Sengaja apa?" aku mulai membentak . Menggenggam erat handphoneku "Kakak itu nangis-nangis nelpon aku. Aku ngerasa, seakan-akan aku udah ngerusak hubungan kalian. Aku cuman bilang kalau kamu yang nembak aku, aku gadak maksud buat dekatin kamu. Tapi, aku bilang sama kak Rita, meskipun aku udah nolak, kamu gak berubah. Kamu tetap baik sama aku. Itu doang"

Aku mendengar dia tertawa kecil sambil mengumpat "Kalau tahu gini, aku gak akan baik sama kamu. Gini kali ya, rasanya dekat sama anak kecil?"

Aku menggigit bibir bawahku yang mulai gemetar "Aku anak kecil? Jadi, ngapain kemarin kamu nyium anak kecil?" Aku malu. Tapi tidak bisa menahannya. Karena aku memang sudah mulai menyukai dia. Aku pikir dia baik. Tapi ternyata aku hanya dianggap permainannya.

Dia tertawa "DEK..." untuk pertama kalinya dia memanggil aku dengan sebutan itu. Selama kami dekat, walaupun usia kami berpaut 8 tahun, dia tidak pernah memanggil aku dengan sebutan adek. Dia selalu memanggil aku dengan sebutan nama. "Apa kata orang, kalau mereka tahu aku dekat sama kamu? Si Alvian pacaran sama si Greena? Alvian dan Greena?" Dia tertawa sumbang. "Oke, aku minta maaf kalau selama ini sifat aku berlebihan. Tapi tolong jangan salah paham. Aku gak mungkin pacaran sama adek-adek." katanya dengan nada meremehkanku.

Entah sejak kapan buliran air mata sudah menyusuri pipiku. Ini sakit. Memalukan. Sungguh, aku ingin meludahi wajah pria yang ada di sebrang teleponku. "TAI" kataku pelan. "jangan pernah muncul di hadapanku, orang tua. Semoga kalian berjodoh" geramku.

"Kamu marah? Plis lah, gak usah baper--" katanya. Namun dengan cepat aku mematikan sambungan teleponnnya.


Aku menangis. Aku tidak menyangka bahwa garis hidupku bisa bersinggungan dengan orang-orang dewasa yang terhormat itu. Aku tertawa. Membenamkan wajahku ke bantal. Aku berusia 19 tahun, seharusnya aku tidak berharap banyak jika didekati orang seperti mereka. Tahu apa aku dunia orang dewasa. Dengan bodohnya, aku mau di ci.. Aku ingin muntah membayangkannya.

Rita adalah gadis yang memiliki pendidikan tinggi. Dia seorang pramugari. Keluarganya memiliki perkebunan sawit yang luas di daerah Pekanbaru. Alvian adalah kekasihnya. Dia bekerja di salah salah satu mall terbesar di Medan. 

Sedangkan aku? Aku hanya seorang gadis yang baru saja tamat dari SMA. Tanpa sengaja bertemu dengan Alvian. Dan seketika merasa dicintai olehnya. Aku akui bahwa Alvian sosok pria yang memiliki sikap yang sangat manis, wajahnya tergolong tampan untuk ukuran lelaki, tubuhnya menjulang tinggi, kira-kita 182 cm. Cara bicaranya pun sangat sopan, dewasa, apalagi untuk wanita seperti aku, semua tampak menyakinkan. Alvian tampak bisa diandalkan.

Dikalangan orang-orang kampung, dia sangat baik. Status pekerjaannya dan penampilannya dibuatnya menjadi tameng, bahwa tidak mungkin sosok Alvian mendekati wanita belia seperti aku. Ya, beberapa kali kami ketemu, dia tidak pernah menjemputku di rumah. Kadang dia mejemputku di simpang rumah, kadang tidak sengaja bertemu di jalan. Karena akupun masih malu-malu jika orangtuaku tahu bahwa aku sedang dekat dengan pria. Apalagi pria itu Alvian, pria yang usianya berpaut jauh denganku.

***


Kabar burung tentang aku mendekati Alvian sudah menyebar luas di kampung. Aku harusnya tidak percaya pada wanita itu. Dia membolak-balikkan semua perkataan, seolah aku yang mendekati kekasihnya. Aku hanya menunduk malu jika keluar rumah. Aku sudah tidak tahan berhadapan dengan orang-orang dewasa gila ini. Dengan perasaan gundah dan campur aduk, aku meminta izin kepada Ayah dan ibuku untuk meninggalkan kampung ini. Ayah dan ibuku hanyalah seorang buruh kasar. Ayahku bekerja hanya sebagaai penyapu jalan raya, sedangkan ibuku berjualan sayuran di pasar. Hidup kami sangat pas-pasan. Aku masih memiliki 2 adik yang harus disekolahkan.

Dengan perasaan cemas ibu mengizinkan aku. Tapi tidak dengan ayah. Di hari keberangkatanku menuju pulau Batam, dia tak kunjung beranjak dari tempat tidurnya. Dengan langkah yang berat aku pergi. Berharap esok jika aku kembali, aku sudah bisa menegakkan kepalaku. Membuka tirai kenyataanku, manyakinkan diri agar aku tidak diremehkan.


Medan, 14 januari 2014

Detik Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang