Angin berhembus pelan. Menghembuskan hawa dingin yang menusuk. Aku merapatkan tubuhku. Mencoba menciptakan hangat meskipun sedikit.
Sekarang adalah puncak musim dingin. Cuaca sangat dingin. Bahkan hembusan pelan sang angin sudah cukup untuk membekukan tubuhku.
Semua orang berjalan cepat dengan mantel dan sarung tangan serta syal menutupi tubuh mereka. Berbeda denganku yang sama sekali tak memakai atribut musim dingin itu.
Aku semakin merapatkan tubuhku. Mencoba menangkal dingin yang semakin menusuk kulit.
Aku terpaku di depan gerbang sebuah sekolah menengah. Aku masih setia menunggu di sana. Menunggu seseorang yang aku sukai sejak sebulan lalu. Park Jimin.
Aku tak sengaja melihatnya ketika aku tengah berjalan-jalan. Aku melihatnya di sudut jalan tengah memberi makan beberapa anak anjing yang kedinginan.
Aku masih ingat senyum manis dan tatapan lembutnya saat itu. Begitu lembut hingga membuatku luluh.
Setelah pertemuan tak disengaja itu, aku mulai mengikutinya kemanapun dia pergi. Diam-diam.
Aku tidak mau dia tahu apa yang kulakukan dan akhirnya justru membenciku.
"Ah, lihat dia, cantik sekali."
"Wah, iya benar, ya ampun, dia sangat menggemaskan."
Aku menoleh. Beberapa orang siswa yang lewat menatapku kagum. Beberapa bahkan tersenyum lebar sambil menatapku.
"Tapi, apa dia tidak kedinginan?" ujar yang lainnya.
Tak lama, mereka pun berlalu pergi. Dan aku melanjutkan kegiatanku. Menunggunya datang.
Bel pulang sudah berbunyi daritadi. Seharusnya dia sudah keluar kelas sekarang.
Udara semakin dingin dan aku semakin membeku. Ah, kenapa dia belum muncul juga?
Tak lama terdengar gelak tawa yang ku kenal. Bergegas ku edarkan pandanganku ke seluruh penjuru. Mencari wajah itu.
Tak butuh waktu lama dan aku sudah menemukan sosoknya yang tengah melambaikan tangan pada temannya lalu berjalan menuju halte.
Dengan cepat kuayunkan kaki kecilku mengikutinya. Aku berlari kecil agar ia tak menyadari bahwa aku mengikutinya.
Dia berjalan pelan dengan tangan di saku mantelnya dan headset menyumpal telinganya.
Melihatnya punggungnya yang tegap membuatku ingat betapa mempesonanya dia. Ah, ini benar-benar membuatku gila.
Seharusnya aku tidak usah menyukainya dari awal. Mengamati orang yang kau suka dalam diam, bukankah itu menyakitkan?
Yah, walaupun begitu, tapi aku tetap dengan sukarela melakukan hal ini setiap hari. Menunggunya datang ke sekolah di pagi hari, dan menunggunya pulang di siang hari.
Ya, hanya itu keseharianku selama sebulan ini setelah mengenal Jimin. Mengikutinya seharian penuh.
Meski melelahkan, namun aku menyukainya, karena aku bisa melihat senyum manisnya sepanjang hari.
Jimin sampai di halte. Ia segera duduk di ujung kursi seperti biasanya.
Dengan buru-buru aku segera duduk di ujung kursi lainnya. Menatapnya yang masih sibuk dengan alunan lagu di telinganya.
Sesekali mulutnya bergerak mengikuti lirik lagu yang mengalun. Ia larut dalam dunianya. Sama sekali tak menghiraukan sekitarnya.
Diam-diam aku tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak menyukai sosoknya yang begitu sempurna?
Sebuah bus berhenti di depan halte. Mengalihkan Jimin dari dunianya. Perlahan satu persatu orang mulai menaiki bus itu.
Namun Jimin masih tetap diam di tempatnya dan kembali asik dalam dunianya--karena itu bukan bus yang ditunggunya.
Lama kelamaan ku sadari bahwa yang tersisa di halte hanyalah aku dan Jimin.
Namun aku tak dapat mengalihkan pandanganku darinya, hingga Jimin dengan tiba-tiba balik menatapku.
Aku tersentak. Namun aku tetap diam. Perlahan Jimin menggeser duduknya mendekatiku. Ia menatapku tajam. Oh tidak, apakah dia tahu?
"Kau.." ujar Jimin pelan, "Kau selalu mengikutiku setiap hari 'kan?"
Aku tersentak kaget. Astaga, jadi dia tahu? Bagaimana ini? Apakah dia akan membenciku? Apakah setelah ini dia akan memintaku menjauh?
Jimin mengulurkan tangannya ke arahku. Dengan takut aku menutup mata, apa dia akan memukulku?
Ingin rasanya aku berteriak padanya dan mengungkapkan perasaanku sekarang. Tapi tentu saja aku tak akan bisa.
Tangan Jimin mendarat lembut di kepalaku. Ia mengelus kepalaku lembut. Perlahan kubuka mataku.
Di depanku Jimin tersenyum sangat manis. Ia menatapku dengan tatapan lembutnya yang sangat kusuka.
"Apa kau tidak kedinginan?" tanyanya lembut. Dengan cepat aku menggeleng. "Tidak lapar?" Dengan cepat aku menggeleng lagi.
"Tapi, kenapa kau di sini? Apa kau lari dari rumah? Mana pemilikmu, anjing kecil?"
Aku merapat ke tubuh Jimin yang terasa begitu hangat. Ah, aku menyukainya. Bisa kudengar dengan jelas tawa kecil Jimin yang renyah.
"Oke,oke, kalau begitu, kau ikut aku pulang ya? Aku akan merawatmu dengan baik, oke?"
Jimin kembali mengelus kepalaku lembut. "Oh, itu bus kita. Ayo pulang, anjing kecil."
Jimin mendekap tubuh kecilku dalam pelukannya dan membawaku masuk ke dalam bus. Ah, akhirnya aku bisa bersama Jimin.
Aku akan selalu setia padanya, mengikutinya kemanapun, menghiburnya saat dia sedih, dan bermain bersamanya saat dia bosan.
Aku akan menjadi anjing kecil yang baik untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
BTS IMAGINE
RandomWARNING : Membaca ini menyebabkan kebaperan, lemah jantung, kejonesan meningkat, dan kesepian yang berlebihan. Bagi yang merasa tidak sanggup melanjutkan silakan untuk segera melambaikan tangan ke kamera. Enjoy reading guys~~