7. Kesepakatan (Meila)

26.3K 1.8K 25
                                    

Aku tidak tahu jika Ariel ada di belakangku selama ini. Apa dia melihat semuanya? Aku dapat melihat kilatan marah dimatanya. Tanpa aku sangka, Ariel mencengkeram erat pergelangan tanganku.

"Kak lepasin! Sakit!" aku meronta kesakitan.

"Dimana kamarmu?!" tanyanya. Seolah mengabaikan rasa sakit dipergelangan tanganku.

"Kenapa?" aku masih meronta melepaskan cengkraman tangannya yang semakin kuat. "Kak, sakit!" ucapku lirih.

"Dimana kamarmu?!" ucapnya tanpa menghiraukan rintihanku.

Aku menyerah. "Kamar nomer 100," ucapku lirih.

Ariel langsung menyeret lenganku yang tadi masih di cengkram. "Kak lepasin! Aku bisa jalan sendiri," aku melihat sekeliling, orang-orang mulai berbisik-bisik. Mereka memperhatikan tingkah kami. Tapi, sepertinya Ariel tidak memperdulikan tingkahnya itu. Dengan cueknya dia menyeretku masuk kedalam lift.

Didalam lift kami hanya diam. Percuma saja aku mencoba untuk melepaskan cengkraman tangannya. Semakin aku meronta semakin kuat pula cengkraman tangannya. Aku rasa lenganku akan membiru.

"Masuk!" ucap Ariel setelah aku berhasil membuka kamarku.

Ariel mengernyitkan kening setelah melihat sekeliling ruangan ini. Kamar ini memang dua kali lebih luas daripada kamar hotel yang ada.

Aku memilih tema klasik untuk kamar ini. Untuk menambah klasik aku memilih warna coklat dan cream. Aku memasang beberapa photo. Photo Aku dan Ariel ketika bersanding di pelaminan, photo saat aku dan orang tuaku ketika lulus sekolah menengah atas dan foto kami bertiga aku, Ariel dan Ayu ketika kita sedang di Dufan.

"Ini kamar khusus untukku." jelasku.

Tanpa di suruh Ariel sudah duduk manis di sofa. "Apa kau akan berdiri disana selamanya?" tanyanya.

Dengan gugup aku langsung duduk di sofa yang berada di seberangnya. Tanpa sadar tangan kananku sudah meremas celana jins yang sedang aku pakai. Ini memang kebiasaanku ketika aku mengalami gugup atau sedang berbohong.

Ariel masih menatapku. Tatapannya tajam dan mengintimidasi.

"Kau tau apa yang kau lakukan?!"

Aku bingung mendengar pertanyaannya itu.

"Memang apa yang aku lakukan?" tanyaku polos.

Dia berdecak. "Apa pria itu selingkuhanmu?" Ariel balik bertanya. "Apa perjanjian itu adalah sebuah alasanmu untuk menemui selingkuhanmu itu?"

Pria? Selingkuh? Perjanjian? Alasan? Apa maksud semua perkataannya?

"Aku tidak tau apa yang sedang Kakak bicarakan. Aku tidak pernah berselingkuh dan pria itu hanya sebatas teman." jelasku panjang lebar.

"Sebatas teman? Apa ada teman yang saling berciuman?" tanyanya, intonasi mulai naik.

"Kami tidak ciuman. Dia hanya mencium keningku. Dia memang selalu melakukannya," jelasku. "Tunggu! Apa Kakak sedang cemburu?" tanyaku penuh harapan.

"Dasar wanita bodoh! Mana mungkin aku cemburu melihatmu dengan pria lain?"

Senyumku langsung menghilang dari wajahku.

"Kenapa Kakak sangat membenciku? Apa karena pernikahan ini?" aku mencoba untuk menahan tangis yang sudah berada di ujung mata. "Maaf karena aku telah merenggut kebahagiaan Kakak. Maaf karena aku Kakak tidak bisa menikah dengan kekasih kakak. Maaf karena selama ini aku egois untuk mempertahankan pernikahan ini. Maaf karena aku, aku," runtuh sudah pertahananku selama ini.

Selama hampir tiga tahun pernikahaan ini, aku tidak pernah menangis di hadapannya. Aku selalu memasang wajah ceria. Aku tidak ingin kelihatan lemah di hadapannya. Aku selalu menunjukkan sisi kuatku.

Hening beberapa saat.

"Apa kamu masih mencintai wanita itu?" dia hanya diam tidak memberikan jawaban. "Kediaman Kakak sudah menjadi sebuah jawaban," aku mulai merasakan cairan bening itu menetes kembali. Sakit. Hati ini benar-benar sakit. Apakah semua harapan yang aku bangun selama ini akan runtuh saat ini juga? Apakah aku benar-benar tidak mempunyai kesempatan kedua? Ah, bukannya kesempatan pertama pun aku tidak mempunyainya?

"Kak, bisakah kamu mengabulkan semua perjanjian itu? Bisakah Kakak mencintaiku? Hanya seminggu. Aku hanya ingin seminggu ini Kakak mencintaiku dan lupakan wanita itu."

Ariel hanya diam.

"Aku akan menyerah." aku menarik napas dan membuangnya, mencoba untuk rileks. "Aku tahu. Aku hanya wanita pengganggu dalam hubungan kalian. Aku juga tau alasan kakak selalu membatalkan semua perjanjian kita di detik terakhir karena Kakak menemui wanita itu bukan?"

Ariel masih diam.

"Ayo kita cerai!" kataku lirih. Inilah hal yang selama ini aku hindari. Cerai. Dalam mimpipun aku tidak pernah terbayangkan. Dulu kata cerai adalah kata terlarang untukku. Tapi lihatlah sekarang, aku sendiri yang meminta cerai ke suamiku. Bukankah aku menjilat ludahku kembali?

Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk kita semua. Aku memang mencintainya, tapi kebahagiaan Ariel bukanlah bersanding denganku. Kebahagiaan Ariel adalah bersanding dengan wanita yang di cintainya yaitu Ayu Pramera. Mereka saling mencintai, disini aku adalah orang ke tiga.

Seharusnya aku mengakhiri pernikahan ini dari awal. Mungkin mereka sudah hidup bahagia dan mempunyai anak-anak.

Anak-anak?

Aku bahkan tidak bisa memberi Ariel keturunan. Tanpa sepengetahuan Ariel aku sudah tidak menggunakan alat kontrasepsi setahun setelah pernikahan kita. Mama membujukku untuk melepaskannya karena ingin mempunyai cucu. Aku menyetujuinya, mungkin dengan adanya bayi diantara kita, Ariel akan mulai luluh dan mencintaiku.

Harapan hanyalah sebuah harapan. Hampir Dua tahun aku sudah tidak menggunakan alat kontrasepsi tapi tidak ada tanda-tanda kehamilan sama sekali. Aku bahkan tidak berani konsultasi ke dokter karena takut di vonis mandul.

Benar. Ini adalah jalan yang terbaik. Aku benar-benar akan menyerah untuk ini. Kebahagiaan Ariel adalah yang utama untukku. Jika memang dia bahagia dengan Ayu, aku akan mencoba ikut bahagia untuk mereka. Aku akan mencoba...

"Bolehkah aku egois selama seminggu ini? Hanya seminggu ini. Bisakah Kakak menjadi suamiku yang seutuhnya?"

Aku tidak tahu kapan dan bagaimana? Ariel sudah berada di depanku. Dia memelukku. Kepalaku bersender di perutnya. Dengan ragu-ragu aku memeluk pinggangnya. Aku merasakan sentuhannya. Dengan lembut dia mengusap-usap rambutku dengan lembut.

"Maafkan aku, Mei." ucapnya lirih.

Mendengar permintaan maaf dari Ariel membuat pertahananku selama ini makin runtuh. Aku semakin menenggelamkan kepalaku ke perutnya.

Sadarlah Meila. Ariel melakukan semua ini hanya karena permintaanmu itu. Perjanjian yang kau buat sendiri.

Dia menggendongku dan merebahkankanku di kasur. Dia mulai mencium keningku kemudian turun ke kedua mata, hidung dan yang terakhir adalah bibirku. Aku menikmati semua sentuhan yang dia lakukan, aku mengalungkan lenganku ke lehernya untuk memintanya memperdalam ciuman kami.

Aku tidak tahu berapa lama kami berciuman. Aku akan menikmati setiap detik demi detik yang kami lakukan.

Malam ini biarkanlah dia, Ariel Putra Tomo hanya milik Meila Putri Haja seorang. Aku akan melupakan semua masalah yang sedang aku hadapi, tidak akan ada Ayu, Mama Tomo, kak L dan kak Jessica. Disini, hanya ada aku dan Ariel.

Biarkanlah malam ini menjadi malam yang paling indah untukku. Malam yang tak akan pernah aku lupakan. Malam yang akan selalu aku ingat sepanjang hidupku.

"I Love You."

****

Sukabumi, 26 Juni 2016

Edit : 22 Mei 2017

Sweet RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang