#TTSH- Prolog

61 2 0
                                    

Cafe Express . New York, Amerika Serikat. 04.03 p.m

Setengah jam berlalu, Seorang wanita berambut hitam pendek dengan kulit berperawakan asli timur tengah berbicara cepat dilayar televise kafe tentang penutupan akses stasiun kereta api diakibatkan badai salju yang terjadi sejak satu jam yang lalu. Semua pelanggan mengeluh dan kecewa, termasuk aku. Karena tidak ada lagi alasan bagi kami untuk tidak menetap di kafe ini sampai badai salju mereda.

Kubuka kembali buku agendaku yang sedari tadi tergeletak manis di samping minuman coklat panas yang beruap ,menggoda untukku sesapi sesaat. Aku mulai menikmati suasana saat membaca agendaku sendiri. Disitu tertulis aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia setelah mendapat kontrak dengan Mr. Welick tentang kisah inspiratifnya yang akan kami publish menjadi buku terjemahan di Indonesia selama 7 hari. dan aku diperuntukan untuk menikmati liburan pertamaku di New York dengan suka cita selama apapun yang kumau. Wow! Jelas senyum sungging di bibirku ini menandakan bahwa aku siap menerima kebahagiaan itu secara suka rela.

Salah seorang pelayan wanita dengan wajah gusar -tanpa berhenti melirik kearah jendela- akhirnya mengantarkan pesanan muffinku, Aku hanya tersenyum kecut. Setengah jam untuk muffin pisang coklatku. Belum sempat aku marah pada pelayan itu, pelayan itu pergi begitu saja menghampiri rekan-rekannya yang sedang berjuang membuang salju secara percuma sebelum salju-salju itu menutupi pintu kafe ini sepenuhnya. Aku mulai mengurungkan niatku untuk marah-marah setelah melihat mereka dalam keadaan sibuk seperti itu. Aku memperhatikan bagaimana mereka bekerja keras, melindungi kafe ini hanya dengan sepotong sekop besar dan satu sapu dengan gerigi yang besar-besar yang biasa dipakai untuk menyusun dan menumpuk jerami dikandang kuda. Mereka terlihat kualahan menahan dinginnya salju diluar, sedangkan para pelanggan yang merasa hangat didalam kafe mulai merasa khawatir karena badai salju tak kunjung mereda. Mereka meminta tolong kepada para pelanggan pria untuk membantu serta para petugas kafe dalam mengatasi masalah yang satu itu.

Seorang ibu dengan putranya yang masih berumur sekitar 2 tahun tiba-tiba saja duduk dihadapanku. Aku menoleh, memperhatikan bagaimana Ibu itu bergumam , menimang putranya dengan alunan music yang dibuat untuk menidurkan putranya. Pandanganku tercuri pada putranya, dia sangat manis. Berkulit putih kemerahan dengan rambut ikal coklat yang dibalut jaket biru tebal dan celana rajut abu-abu tebal untuk menutupi seluruh tubuhnya dari hawa dingin. Anak laki-laki itu persis sekali dengan ibunya. Ibunya menatapku, tatapannya begitu lembut dan tenang. Dia ingin mengajakku mengobrol. Namun dia tahu bahwa putra kecilnya membutuhkan ketenangan dalam tidurnya. Jadi kami mengobrol dalam suara pelan.

"Dia putraku. Namanya Steven".

"Oh, Steven. Wajahnya sama sepertimu" pujiku.

Dia tersenyum.

"Ya, tapi kupikir dia juga mirip dengan ayahnya".

Aku menatapnya dalam bingung.

"Suamimu?" tanyaku hati-hati.

Dia menoleh kearahku. "Ya. Suamiku seorang pegawai militer. Dia tewas saat membela suku terpencil di Ferras".

Aku terengah sesaat.

"Aku turut berduka".

Dia terkekeh. "Tidak apa. Itu sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Oh ya, siapa namamu?".

"Jinan. Kau bisa memanggilku jinan. Siapa nama anda, mam?".

"Ah , kau tidak perlu memanggilku 'mam' , kau bisa memanggilku Janet".

"Ah, Janet. Nama yang bagus" pujiku lagi.

"Terimakasih" katanya tersanjung. "Sepertinya kau bukan orang sini. Darimana kau berasal?".

Aku mencoba menyesapi coklat panasku sesaat. "Ya, aku dari Indonesia".

"Oh Indonesia. Liburan?".

Aku menggeleng. "Tidak, ini hanya perjalanan bisnis" . Oh Tuhan. aku yakin pipiku mulai memerah ketika aku mengatakan itu dihadapannya. "Aku seorang asistent editor di perusahaan penerbitan buku. Dan clientku kebetulan tinggal disini. Aku perlu kontrak untuk bisnisku" kataku .

"Oh, benarkah? Siapa clientmu itu? apa dia penulis terkenal?" tanyanya.

"Ya, tapi tidak terlalu banyak yang tahu. Karena Karyanya bercerita tentang seorang anak laki-laki yang mencoba mengungkapkan kebenaran kematian ayahnya dua puluh tahun silam".

Dia terlihat terkagum dengan judul yang kukatakan. "Wah. Kedengarannya cerita itu bagus".

Aku tersenyum. "Terimakasih, Janet". Kami berdua menoleh kearah jendela. Badai salju mulai mereda, para petugas dan pelanggan yang turut ikut membantu mulai masuk dan menutup pintu café. Aku mulai memasukkan buku agendaku kedalam tas. Aku memutuskan mencari transportasi lain selain akses kereta api untuk sampai ke hotelku hari ini. Mata Janet mengikuti gerakanku saat aku bangkit dari kursi.

"Apa kau ingin pergi?".

"Ya, karena aku tidak bisa terjebak disini lebih lama lagi, Janet. Kau juga ingin pulang bukan?".

Janet mengangguk. "Ya, tapi kemungkinan mustahil , Jinan. Satu-satunya akses agar kau bisa pulang adalah berjalan kaki karena semua transportasi kemungkinan tidak akan berada dijalan sekarang ini".

Aku mencoba mencerna sarannya. Dan dia benar. Tidak mungkin kendaraan berani melintas setelah badai salju yang hebat tadi. Satu-satunya cara untuk bisa pulang sekarang adalah dengan berjalan kaki sampai ke hotel. Dan Ya Tuhan. aku harus menempuh setidaknya 12 km untuk sampai ke hotelku. Mataku melirik kearah Janet.

"Jadi benar tidak ada kendaraan?" tanyaku memastikan.

Janet mengangguk. "Tapi aku bisa mengantarmu dengan mobilku nanti malam setelah jalan raya dibersihkan".

Aku menghela nafas lega dihadapannya. "Ya ampun, terimakasih Janet" kataku.

"Iya , sama-sama" katanya sambil menimang putranya kembali dengan bahagia.

Aku mengambil kursiku kembali dan menatap ibu dan anak itu penuh haru.

Dan tiba-tiba saja. Secara asing , perasaan itu mulai muncul kembali di dalam benakku .

Tentang Dia. .

Tentang Steven. .

Kisah mereka . .

Yang tidak jauh berbeda. .

Bersambung . . .

#Hai ini cerita pertama aku, yang benar-benar mau aku publish sampai habis. Jika suka dan ingin lanjut , silahkann vote ya . .Terimakasih ^^

Salam

Permen_coklat

TIED TO A SALLOW HEART Where stories live. Discover now