Jakarta, Februari 2015
"Nan, ini proposal sama surat kontrak project lo sudah di acc sama pak Bambang. Sekalian katanya dia mau ngasih duit buat tiket pergi lo ke New York, nih duitnya" ucap Farah seraya memberikan amplop coklat yang berisi uang gepokan itu di atas meja kerjaku. Seketika pipiku memerah.
"Ya Ampun, pak Bambang baik banget" aku menoleh kearah pak bambang yang sedang sibuk dengan tumpukan kertas diatas mejanya.
"Makasih ya pak, saya jadi nggak enak sama bapak nih" seruku malu-malu.
Pak Bambang menoleh kearahku..
"Iya, pokoknya kamu harus dapet tanda tangan kontrak sama penulis itu. kalau enggak ,saya nggak akan kasih tiket pulangnya sekalian" ancamnya.
Aku mendelik kaget.
"Tapi pak. . " sebelum pembelaanku terucap , pak bambang sudah menyergahku lebih dulu.
"Eitt.. nggak ada tapi-tapian lho nan. Ini project besar! Kalau sampai direktur tahu kamu nggak dapet kontrak sama dia, abis kamu".
"Tapi kan pak, si penuliskan temannya si pak direktur. Nggak mungkinkan dia nolak kontraknya?" tanyaku mencoba mengimprovisasi pak Bambang.
Pak Bambang memainkan kumis panjangnya sambil menatapku serius.
"Ya, tetap saja. Meskipun beliau sahabat pak direktur, kamu tetap harus jaga-jaga, jangan sampai projectnya gagal. Saya nggak mau jadi lama pensiun karena kamu lho"nasihat pak Bambang.
"Ya, baik pak, saya akan coba usahakan ya pak" kataku sopan.
"Udah omongan pak bambang jangan di dengerin, dia memang gitu nan, suka aneh. Entar ujung-ujungnya dia ngasih duit ke lo buat lo balik. udah lo selesai-in aja projectnya" bisik Farah tepat disampingku. Aku hanya mengangguk sambil memandang proposal itu ditanganku. Hal pertama yang membuatku tertarik untuk membuat project ini adalah saat aku tanpa sengaja membaca artikel cerita itu di ruang kantor pak direktur. Saat itu aku sedang membutuhkan persetujuan untuk proposalnya pak Bambang, dan kebetulan beliau sedang tidak berada ditempat dan komputer masih dalam keadaan hidup. dan disitulah aku menemukan karya sastra yang benar-benar indah yang belum pernah kubaca seumur hidupku. Karyanya bercerita tentang seorang anak laki-laki yang mencoba mengungkapkan kebenaran kematian ayahnya dua puluh tahun silam. Aku membacanya di meja kerjaku, dan hasilnya adalah proposal ini. Ini adalah project pertamaku yang di setujui langsung oleh pak Direktur karena kebetulan yang menulis adalah rekannya sewaktu belajar di Amerika dan ini tidak boleh gagal karena pak Bambang berharap bahwa waktu pensiunnya tidak lagi diundur sesuai harapannya. Dan setelah itu, aku yang akan menggantikan posisi pak bambang semampuku.
***
Di hari keberangkatan.
Aku menelpon bunda yang berada di bogor, mengatakan kalau aku akan segera pergi ke Amerika sebelum pesawat dipindahkan ke jalur lepas landas. Bunda mendoakan agar aku selamat sampai ke tujuanku. Lalu bercerita tentang kesehatan ayahku yang semakin membaik. Syukurlah dengan begitu aku bisa pergi ke Amerika dengan tenang.
"Dimana ayah bund?".
"Ayah lagi istirahat,nan. Katanya kalau abis minum obat cepet ngantuk".
"Oh syukurlah bund, mungkin obat ayah sedang bereaksi. Semoga ayah cepat sembuh. Oh ya , bunda mau nitip apa buat oleh-oleh?".
Suara bunda terdengar riang dalam telepon. "Nggak usah muluk-muluk, nan. Bunda cuman mau mantu aje udeh . . haha" gurau bunda.
Aku tertawa geli. "Iya deh bunda, nggak usah jauh-jauh bunda, ini didepan aku ada pilot ganteng" kataku sambil melirik pilot tampan yang baru saja menaruh koper salah seorang penumpang yang duduk diatasku. Si pilot tersenyum mendengar ucapanku.
YOU ARE READING
TIED TO A SALLOW HEART
Romance*Tied To A Sallow Heart (terikat pada hati yang pucat)* Hanya ada satu pria yang tidak bisa dilupakan oleh Jinanti Anindia sejak ia masih berumur 4 tahun. Pria itu ialah Rafanda Diar Lasmana , anak laki-laki dari tetangga sebelah rumahnya yang s...