PROLOG

11.3K 625 18
                                    

Shera berlari dan terus berlari menembus pohon-pohon pinus yang menjulang dan berjajar rapi, mengejar seseorang yang hanya dapat ia lihat bayangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shera berlari dan terus berlari menembus pohon-pohon pinus yang menjulang dan berjajar rapi, mengejar seseorang yang hanya dapat ia lihat bayangannya. Ia berteriak, memanggil-manggil orang itu, namun suaranya hanya bergema kembali kepada dirinya. Shera terengah-engah, napasnya menderu di setiap derap langkah kakinya. Ia lelah, namun dipaksanya kakinya untuk tetap melangkah. Langkah kakinya yang gontai makin melemah. Di hadapannya terpampang jurang yang membatasi sisi barat hutan pinus. Orang yang dikejarnya tampak tidak memperlambat langkahnya meski Shera sudah berulang-ulang memanggilnya. Jarak orang itu hanya tinggal beberapa meter dari tepi jurang. Jurang itu makin jelas terlihat, Shera berteriak kembali memanggil orang itu. Orang itu sejenak menoleh ke arahnya, namun gerakan itu justru membuat dirinya terperosok ke dalam jurang. "TIDAAAAAK...!" Shera berseru kencang, berharap suaranya dapat menghentikan kejadian itu. Perlahan Shera menghampiri tepian jurang. Ia bersiap menuruni jurang itu, namun entah bagaimana tiba-tiba angin di hutan pinus berembus kencang, sebuah pohon pinus mendadak bergerak, batangnya meliuk-liuk menghampiri Shera, dahannya menjulur, menarik dan mencengkeram erat tubuhnya sampai ia merasa kesakitan. "Lepaskan...! Aku harus menolongnya."

Shera terbangun. Mimpi itu, selalu saja mimpi itu yang datang menghantuinya selama beberapa hari terakhir ini. Shera mengelus dadanya, menarik napas panjang, mencoba untuk membuat jantungnya berdetak normal kembali. Peluh membasahi tubuhnya, meski udara dingin dari air conditioner mengalir di atas tempat duduknya. Di sebelahnya, seorang wanita muda masih terlelap dalam tidurnya. Di tangannya masih tergeletak sebuah majalah travel yang tadi urung dibacanya. Shera pun menyadari kembali keberadaannya. Ia tengah berada di dalam sebuah pesawat yang akan membawanya pergi jauh dari rumahnya, jauh dari negaranya, dan jauh dari segala masalah yang menderanya.

Setelah enam belas jam di udara, akhirnya terdengar sebuah pengumuman dari pengeras suara yang memberitahukan bahwa pesawat yang mereka tumpangi akan tiba di Dublin Airport.

Pesawat itu mulai menurunkan ketinggiannya, perlahan bersiap untuk mendarat. Dari jendela pesawat, Shera melihat dataran hijau, ladang pertanian yang terhampar berkotak-kotak, juga hanggar dan terminal bandara yang tampak bagaikan sebuah maket.

Casio di tangan Shera menunjukkan pukul 16:00, sinar hangat mentari menyambutnya saat turun dari Etihad Airways, waktu setempat masih pukul 10:00 pagi, enam jam lebih lambat dari waktu Jakarta. Shera menyesuaikan arlojinya dengan waktu Dublin.

Udara Dublin terasa sejuk, musim panas di Irlandia memang tidak ekstrim, suhunya berada di kisaran 20 derajat Celcius. Namun tetap saja udaranya terasa dingin bagi Shera yang terbiasa tinggal di iklim tropis.

Setelah mengurus segala urusan imigrasi dan mengambil bagasi, Shera melangkahkan kaki keluar bandara. Menurut Bunda, setibanya di Dublin nanti akan ada guide yang menjemput dan menemaninya selama di Irlandia.

Shera berjalan perlahan mendorong troli-nya, mengedarkan pandangan pada setiap sudut bandara tersebut. Monitor-monitor raksasa tampak tak henti-hentinya menampilkan berbagai jadwal penerbangan. Suasana Dublin Airport sangat ramai, orang dari berbagai bangsa berlalu-lalang membawa koper dan troli. Tak heran jika bandara ini dinobatkan sebagai bandara tersibuk di Irlandia.

Di luar terminal, diantara kerumunan orang-orang yang hendak menjemput kenalan atau keluarganya, Shera menemukan sosok penjemputnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di luar terminal, diantara kerumunan orang-orang yang hendak menjemput kenalan atau keluarganya, Shera menemukan sosok penjemputnya. Seorang laki-laki, berusia kira-kira akhir dua puluhan. Postur tubuhnya tegap menjulang, dengan tingginya sekitar 185 cm, rambutnya hitam, pupil matanya berwarna hazel, kulitnya putih namun tidak seperti warna kulit orang Eropa. Dia berdiri mengacung-acungkan kertas bertuliskan "SHERAFINA HADI, JAKARTA" di depan dadanya. Shera menghampiri dan menyapanya.

"Hi, I'm Sherafina Hadi, from Jakarta. Are you a tour guide who will accompany me in Ireland?" Shera menyapanya. Menekan dalam-dalam kenangan sedih yang dibangkitkan oleh mimpi buruknya tadi. Senyum, Sher! Ujar Shera dalam hati, mengingatkan dirinya sendiri untuk menikmati liburannya di Irlandia.

"Sea. Fáilte go h-Eirinn! Welcome to Eire! Nice to meet you, Ms. Hadi," jawabnya sambil menjabat erat tangan Shera. "Nama saya Arya Clayton, panggil saja Arya, dan saya akan mengantar Anda ke tempat-tempat paling indah di Irlandia," lanjutnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Bisa dibilang Bahasa Indonesianya sangat lancar, meski logat British Irishnya juga masih kental.

"Ka... kamu bisa bahasa Indonesia?" tergagap Shera bertanya, masih dalam keterkejutannya.

Shera sama sekali tak menyangka jika tour guide-nya lancar berbahasa Indonesia. Sungguh menyenangkan rasanya bisa mendengar Bahasa Indonesia di sebuah negara asing. Setidaknya hal itu membuat Shera tak terlalu merasa asing dan sendiri.

"Sedikit. My Mam asli Indonesia, but My Daidí is an Irish."

"Oh, I see."

ALL YOU NEED TO KNOW (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang