Stasiun.

63 2 0
                                    

Mei 2016

"Tuuut.. Tuuut.."

Aku menarik nafas lega saat kepala kereta ini mulai memasuki tempat persinggahan terakhirnya.

Surabaya. Aku pulang.

Suasana riuh stasiun mulai memberondong mencuri indera pendengaran saat kaki-kakiku telah sempurna menapaki lantai marmer stasiun.

'Tempat ini nggak banyak berubah' pikirku sambil terus berjalan menyusuri peron-peron stasiun.

"Aduh!"

"Maaf."

Aku menoleh.

Keira; gadis kecilku.

Senyumku seketika merekah di sana sampai akhirnya langkah pelanku bergerak mendekatinya.

"Maaf, Om. Keira nggak sengaja."

Sayup-sayup ku dengar sebuah permintaan maaf keluar dari mulut kecilnya.

"Keira!" panggilku seraya merentangkan kedua tanganku lebar-lebar.

"Bunda!" pekik Keira, menyambut hangat pelukanku.

Aku makin mengeratkan pelukanku saat merasa tubuh kecil Keira mulai berguncang pelan. "Bunda, Keira bikin baju Om nya basah. Keira nggak hati-hati, Bunda. Keira nggak lihat jalan. Keira tadi lagi cari Papa. Papa hilang. Hiks.. hiks.."

Oh my..

Aku mengusap lembut pucak kepala Keira. "Yaudah, lain kali Keira harus lebih hati-hati ya, sayang. Sekarang biarin Bunda minta maaf sama Om nya dulu," ujarku menenangkan Keira sambil mengurai pelukan.

"Mas.." Kata-kataku selanjutnya tergantung di udara diikuti dengan kedua bola mataku yang membesar. Laki-laki itu berdiri diam di sana. Tepat di depanku. Memegang cup gelas plastik yang isinya tinggal seperempat. Kemejanya basah. Itu pasti ulah Keira.

"Kang Galih.." ucapku pelan.

"Mestya," balasnya sama tercengangnya denganku. "Kamu.. ini anak kamu?"

Alih-alih menjawab, aku malah menarik Keira lebih mendekat kepadaku. "Aku minta maaf. Keira bikin baju kamu kotor."

"Keira?" tanyanya retoris.

"Oke. Keira nggak hanya bikin baju saya kotor, tapi dia juga bikin minuman saya tumpah," ujarnya sembari mengangkat cup gelasnya sedikit ke atas. "Kamu harus bayar mahal dengan cerita kalau kita ketemu lagi. Dan kita harus banget ketemu lagi nanti."

Kini laki-laki itu beralih ke arah Keira, dibungkukannya badannya agar sejajar dengan Keira. "Keira sayang, Om udah maafin kok. Jangan nangis ya, nanti nggak cantik lagi."

Keira hanya diam memandangi laki-laki itu lekat-lekat. Tangisannya telah berhenti, namun jejak air matanya masih membekas.

"Oke, dari dulu saya emang nggak pernah bisa ngegombal," gerutunya pelan. Sesaat kemudian tangan laki-laki itu menyelinap ke arah tas gendong di belakang punggungya.

"Tapi Om punya ini, K for Keira," ucapnya lagi sambil menyodorkan sebuah gantungan kayu tua lusuh berinisial K.

"Semoga kita bisa ketemu lagi." Kini tangan laki-laki itu bergerak ke arah puncak kepala Keira, lalu mengusapnya pelan di sana.

Laki-laki itu berdiri lagi, dilihatnya jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Mes, saya pergi dulu ya. Keretanya berangkat kurang dari satu menit lagi."

Setelah berkata begitu, sosoknya kembali hilang.

"Mestya!"

Aku menoleh.

"Papa!" pekik Keira.

"Keira!" Rico mengangkat puri kecil kami lalu mendekapnya di depan dada bidangnya. Aku tersenyum.

"Mas." Aku menyalimi tangan Rico, laki-laki yang telah sah menjadi suamiku sejak 4 tahun lalu.

"Maaf, Keira sempat hilang tadi, eh taunya udah sama kamu," ujar Rico.

"Papa yang hilang," sahut Keira tak mau kalah.

Rico tersenyum pada Keira. "Papa yang hilang, begitu, hm?" Rico menggesek ujung hidungnya dengan ujung hidung Keira, menyebabkan gadis kecil itu tertawa digendongan ayahnya.

"Kamu ketemu Keira di mana, Bunda?" tanya Rico padaku.

"Di sini." Aku menjawab enteng.

"Bohong. Tadi aku nyari ke sini kayaknya nggak ada," sanggah Rico.

Aku tersenyum kecil lagi. Sikap tak mau kalah Keira ternyata menurun dari ayahnya.

"Ayo, pulang. Bunda sudah lelah," ujar Rico seraya langsung menenteng tas pakaian kotorku yang tergeletak di lantai stasiun.
***

"Di stasiun tadi, aku ketemu Galih." Aku menyesap secangkir teh hangat yang masih mengepul di teras rumah.

"Oh ya? Lalu?"

"Keira tadi sempat senggolan hingga minumannnya tumpah. Dia bilang aku harus ganti." Aku meletakan kembali cangkirku di atas meja.

"Mengganti dengan apa?" Kini gantian Rico yang menyesap kopi hitam pekatnya.

Aku meneguk salivaku pelan sebelum berujar, "Pertemuan kembali."
***

Persimpangan [3/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang