Fikri membolak-balikkan kertas berlembar yang ada dihadapannya dengan raut wajahnya seperti biasa; serius. Membaca koran merupakan salah satu kebiasaan Fikri di pagi hari baik hari libur maupun sekolah.
Untuk anak-anak seumuran Fikri, mungkin mereka lebih memilih menghabiskan waktunya di pagi hari dengan menatap layar handphone dan bersosialisasi di media sosial atau mungkin mereka lebih memilih membaca berita di aplikasi yang ada di handphone mereka.
Tetapi, berbeda dengan Fikri, terkadang dia lebih suka melakukan sesuatu dengan cara the old way. Ya begitulah, kata Dani, abangnya.
Melakukan hal-hal dengan cara yang sudah jarang dilakukan anak muda yang masih duduk dibangku SMA. Bukan hanya koran saja, dia juga suka membaca novel apapun genrenya kecuali, romance.
Fikri tidak suka hal-hal berbau romance menurutnya itu mitos, maka dari itu Fikri masih berstatus single sampai sekarang. Kata Dani, Fikri pernah patah hati makannya sekarang dia jadi seperti itu, memilih sendiri. Kalau kata Dani, lagi, adeknya itu "apabanget" entah Dani pun hanya asal ceplas ceplos tetapi memanggil Fikri "apabanget' rasanya sangat pas, apalagi setelah Fikri patah hati.
"Fik, nanti sore ada acara gak?"
Hari ini hari Sabtu, seperti biasa Dani sebagai anak gaul yang sering hangout hampir setiap weekend Dani suka keluar bersama teman-temannya, tetapi hari ini berbeda dia mau mengajak Fikri saja.
"Gue mau nyelesain PR Sejarah." Jawab Fikri datar, membuat Dani berdecak sebal.
"Temenin gue lah bentar." Fikri hanya menatap Dani datar lalu kembali memfokuskan dirinya ke koran yang sedang dia baca.
'Punya adek kok gini banget' batin Dani.
"Bentar aja lah."
"Temen lo pada kemana?"
"Pada pergi sama keluarga. Temenin gue ya?"
"Engga." Dani geram sendiri dengan jawaban adiknya. "Lo gabakal nyesel deh."
"Engga, Bang."
'Gimana caranya ya? biar dia mau ikut'
Dani menghela napasnya lalu memandang sekeliling ruangan untuk mencari ide, tiba-tiba pandangan Dani terfokus pada satu objek yang mungkin bisa membantunya; buku, Bibir Dani tertarik keatas, tersenyum miring.
"Gini deh, kalo lo ikut, gue beliin novel apa yang lo mau tuh judulnya?" Fikri melirik Dani sekilas.
"Emang lo punya duit?"
Mulut Dani terbuka sedikit mendengar adiknya berbicara seperti itu, nggak salah denger nih? Nggak.
"Punya lah, daripada lo nabung lama mending gue beliin."
Fikri masih diam, berpikir. Dani mengangkat alisnya menunggu adiknya menjawab, tidak sabaran.
"Oke."
Dani tersenyum puas lalu beranjak dari teras kedalam kamarnya meninggalkan adiknya sendirian membaca koran.
Dani mengambil handphonenya yang tergeletak diatas kasurnya lalu mengetik sebuah pesan dengan seringaian diwajahnya.
M. Adi Anandani: Dia mau coy
Dani mengunci handphonenya lalu tersenyum puas, walau dia harus merelakan uangnya dia sangat senang adik satu-satunya ini akhirnya berhasil dia bujuk.
°°°
"Aduh, ngapain si Mba?" Dina berdecak. "Ayuklah, Van." "Masa lo tega sih ngebiarin kakak lo ini sendiri."
Vania memutarkan bola matanya malas. "Lo kan udah gede." "Minta temenin pacar lo aja apah."
"Ish, ayuklah." Vania menggeleng lalu kembali menonton acara favoritnya
The Royals di Star World. Walau ulangan Vania tetap lebih memilih menonton daripada menemani kakaknya."Gue nangis nih."
"Bodo."
"Gue aduin Mamah nih."
"Copo, mainnya ngadu."
"Ck, yaudah."
"Mah!"
Vania mengernyitkan dahinya, lalu mengedikkan bahunya.
"Apa?"
"Mah, kan Vania harusnya beli buku latihan Matematika ya di toko buku soalnya dia bilang ke aku Matematika tuh susah." Mamahnya mengangguk. "Terus?"
"Kan aku ajakin dia ke toko buku sekalian aku juga ada yang mau dibeli."
"Masa dia gamau, Mah." Mamahnya hanya geleng-geleng saja dan Vania menatap kakaknya ini dengan sebal.
"Vania capek kali, Din." kata Mamahnya lembut.
"Tuh, Kak." kata Vania dengan kata 'Kak' yang ditekankan.
"Capek apanya, Mah."
"Liat tuh, daripada nontonin begituan mending nemenin aku sekalian beli buku pelajaran."
"Lebih berguna kan, Mah?"
Mamahnya menatap Vania dan Dina secara bergantian.
"Yaudah, kamu temenin kakak kamu dong, Dek."
Vania membuka mulutnya tidak terpercaya.
"Mah..."
"Van..."
Vania berdecak sebal. "Yaudah."
Dina tersenyum puas merasa menang, dia tidak sabar memberi tau Dani kalau rencana perjodohan mereka akan berjalan lancar.
°°°
halo kalian ini dia chapter satunya, vomment ya!
mulmed: The 1975 - Settle Down
KAMU SEDANG MEMBACA
Desperately Different
Teen Fiction"But you're cold and I burn, I guess I'll never learn." Copyright©2016 by Zharifa Salsabila