G I O

38 5 3
                                    

Siang ini usai bel pulang berbunyi, aku dan sahabatku, Gio, menuju ke rooftop sekolah untuk membicarakan masalah yang menimpaku akhir-akhir ini. Ya, bisa dikatakan ini adalah waktu untuk sesi curhatku.

“Kita kesini cuma buat makan angin doang, nih?” Ujar Gio untuk memecah keheningan yang tercipta sejak 15 menit yang lalu. Aku sedikit tertawa mendengar guyonannya yang garing tapi selalu berhasil menghiburku.

“Dia berbuat gitu lagi.” Ucapku pelan tanpa melihat ke arah Gio.
Ku dengar hembusan napas lelah yang cukup panjang.

“Wajar. Harusnya lo kebal.”

Aku pun langsung menolehkan kepalaku ke arah Gio. Dia benar-benar menyebalkan! “Kok respon lo gitu doang? Lo gak bisa ngerti perasaan gue! Sakit Gi, sakit!”

Napasku terasa berat karena sudah bercampur dengan emosi dan kesedihan.

Bukannya membalas ucapanku, Gio dengan tidak tahu diri malah menyalakan batang nikotin yang beracun itu lalu menghisapnya hingga kemudian meniupkan asapnya di depan wajahku. Aku pun langsung terbatuk dibuatnya. “Gio jangan ngerokok kalau lagi sama gue! Buang rokoknya!”

Gio hanya menaikkan satu alis tebalnya, kemudian membuang rokok tersebut dan menginjaknya. “Lah ngapain lo nyalain rokok kalau cuma sekali hisap?”

“Repot banget sih jadi cewek! Lo tadi nyuruh gue buang rokoknya, sekarang malah protes.” Balas Gio dengan penuh emosi.

Altair Ambrogio. Cowok yang sudah aku kenal sejak aku balita sampai saat ini kami duduk di bangku kelas 3 SMA.

Persahabatan kami yang sudah sangat lama terjalin membuatku sangat paham bagaimana sifat Gio sesungguhnya.

Dulu dia baik, sangat polos malah. Hanya sejak kedua orang tuanya bercerai 3 tahun lalu, membuatnya berubah menjadi bad boy, langganan Ruang BK karena ketahuan merokok dan membolos, suka pergi ke klub malam dan pulang ke rumah dini hari, namun aku sangat menyayangi dia seperti kakakku sendiri.

“Ai, lo sudah tahu semua fakta dan gosip tentang pacar lo itu. Steven sama kayak gue yang suka dunia malam dan kebebasan. Lo sangat paham semua kebiasaan buruk dia. Tapi lo selalu menyangkal dan terlalu keras kepala untuk mempercayai dia yang lo bilang sudah berubah. Dia gak pernah berubah, Aira. Gue tahu kalau Steven dan Icha make out  lagi di hotel tadi malam, am I right?”

Aku hanya terpaku mendengar semua itu. Gio memang benar. Semua ucapannya benar. Steven telah mengkhianatiku dan mengingkari janjinya untuk keseribu kalinya. Aku tak sanggup membalas segala yang Gio katakan. Hatiku sudah terlalu sakit.

But I love him, really love him.” Ujarku dengan suara parau. Air mataku sudah menetes deras dan kepalaku sudah bersandar sepenuhnya di dada Gio yang memelukku.

Don’t ever cry for someone who’d never want to cry for you, Ai.”

- tbc -
Vomment please:)

Reach OutWhere stories live. Discover now