ɴ(ᴇx)ᴛ

364 34 37
                                    

L E T
1
N(EX)T

“Don't punish your next for what your ex did.”

•••

    BERSAMA maksud yang bisa jadi menciut kini ketiganya cuma bisa tegak kaku berjejer memunggungi dinding berupa jendela, tersisihkan. Salah seorang kandidat bersetelan biru dongker lengkap—yang kalau di tinjau lagi barangkali mereka harusnya sudah nangkring di sangkar masing-masing—well sekurangnya begitu bayangan benak Liam bekerja seperkian detik sebelum menilik Lois yang juga bersedia terlambat pulang guna menyelesaikan hal yang sepertinya tak ingin mereka menyelesaikannya. Paras perempuan pucat tersebut ketar-ketir disebelahnya.

  “Tidakkah harusnya kita keluar saja?” ringisan kecut dari sepaket bibir penuh Lois akhirnya membuka setengah hati selagi atensinya gaduh memeriksa dua manusia satu darah tak jauh didepan mereka. Sejak awal ia memang tidak seiras melakukan apa yang mereka akhirnya lakukan.

   Yang di ajak kompromi ikut-ikutan meringis tak kalah pahit, “Sayangnya Delaney sepertinya tidak akan suka gagasan macam itu, sayang.” Liam balas berbisik, cuma bisa pasrah pada kekasihnya sambil menyetok napas sebanyak ia merasa kehilangan oksigen berkat atmosfer yang di rasa berubah kosong.

  Tak diragukan lagi jawaban setuju terpaksa Lois cuma bentuk senyap seiring tatapan dari bulu mata lebat perempuan itu pindah sepenuhnya ke depan. Dari sana, dua presensi yang jadi akar masalah masih bungkam. Rekaan menit-menit lalu menyentil ingatan Liam riuh, bagian bagaimana salah satu sosok—yang kini berdiri di tengah ruangan—menghampiri mereka. Raut setengah putus asa sedikit menyembul diwajah wanita berkepala empat itu, campuran antara dongkol serta ledakan suara pantang menyerah atau barangkali keras kepala khas Delaney terlontar begitu saja tanpa penghalang saat mengutarakan masalah putranya; panggilan lain untuk seorang sobat pelengkap dalam kumpulan mini mereka.

   Sadarlah Liam akan serangkaian hubungan mereka begitu merekat, dan masalah yang telah lama tenggelam tetap menyisakan suatu yang esensial terbawa-bawa hingga ke titik sekarang, membentuk semacam bagian cacat yang kendatinya sudah lama terbentuk. Kalau semua orang jadi penjahat atas pertanggung jawaban kekeliruan yang mereka lakukan atas orang lain, maka Liam memang selalu merasa sejelek itu kalau mengenang apa yang mereka lakukan.

    Tahun-tahun lampau petualangan mereka begitu gila dan menakjubkan, salah satu yang paling membekas adalah bagaimana kumpulan kecil mereka koyak berantakan, tercecer-cecer bak permen dengan sudut bungkus bolong yang lubangnya tak sanggup menampung isi hingga sobek jadi lebih lebar dan mereka jatuh ter pisah-pisah dilantai. Tetapi mereka; permen-permen yang tercecer itu tetaplah satu kesatuan yang akhirnya mereka putuskan untuk tetap jadi kesatuan.

   Tak bisa dipungkiri kalau ada sesuatu yang berubah. Apalagi si tertimpa masalah, setelah perkara berlalu-pun putra Delaney itu menyimpan prespektif sendiri soal komitmen yang menurut mereka, atau bahkan semua orang, bermasalah. Bermasalah dalam arti yang buram, namun tetap saja tak ada yang akan membenarkan pemikiran macam itu. Seolah kau buta dan mencium bangkai tetapi tidak pernah tahu bangkai macam apa yang kau endus, kau hanya tahu kalau itu bangkai. Bangkainya membutakanmu, tetapi kau tidak akan pernah bilang bahwa bangkai itu kue.

   “Ayahnya akan ambil keputusan sendiri. Zayn itu sulit sekali, kita semua tahu itu, tetapi kupikir kalau kita bisa kompromi atau apapun itulah yang lebih rasional saja, semacam ngobrol, pokoknya membuka suatu baut dikungkungan pemikiran berkaratnya. Kurasa tindakan Ayahnya tidak di butuhkan,” kata wanita dengan warna rambut cokelat lurus sebahu itu menerangkan rencana sambil sedikit memprovokasi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

heartsease [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang