1. Amarah

42 0 0
                                    

"Deva?" ujar seorang gadis di dalam telepon. "Siapa lagi dia? Bodyguard baru lo?"

Biyan mendengus. Kesal.

"Dia orang paling nyampah di rumah gue sekarang! Cih," ujarnya.

"Dia sekarang tinggal di rumah lo juga?"

"Iya Nin. Rumah gue terlalu berisik sekarang kaya pasar. Malesin banget gue tinggal sama anak-anak kampung kaya mereka!"

"Ya lo usir saja mereka. Apa susahnya? Lo kan tuan rumah," ucap Nina.

"Entahlah gue bingung, gue benci sama ortu gue yang sok peduli dan sok berjiwa dermawan!" kata Biyan masih emosi. "Buat apa coba memelihara anak-anak kampung kaya mereka!"

Nina tertawa geli.

"Mungkin ada maksud lain yang direncanakan ortu lo buat mereka. Misalkan perdagangan manusia? Atau pekerjaan-pekerjaan kotor dan sejenisnya," ujar Nina.

Biyan ikut tertawa.

"Semoga saja apa yang lo katakan tadi benar dan terjadi!"

"Yan, gue tutup duluan ya. Gue ada janji sama orang!" kata Nina berpamitan.

"Oke deh, Nin. Thanks ya lo sudah mau dengerin curhatan gue," jawab Biyan.

"Youre welcome bro!"

Dan terputus.

Biyan melempar ponselnya ke atas kasur. Memandang kosong lantai kamar yang berbahan kayu berlapis permadani tebal.

Suara bisik itu lagi! Uh, gue benci dengan semua ini! Gue tidak tahan terhadap kerenyahan tawa mereka. Canda mereka. Dan sifat sok asik mereka yang sering dipertontonkan terhadap gue selama ini.

Dan Deva? Sumpah, populasi mereka bertambah satu lagi dan hancurlah hutan yang telah gue bangun ini!

Biyan bergegas menutup pintu kamarnya dengan amarah. Meraih gitar elektroniknya dan menjejalkan dengan kesal pada colokan listrik. Mengatur nafas dan ...

JRENG JRENG JRENG

Inilah saatnya bagi Biyan untuk melawan perasaan kesal dan stresnya. Kerenyahan suara mereka yang mengganggu telinga harus dibungkam dengan suara keras lainnya yang lebih tajam.

"Rasakan ini orang-orang yang tidak tahu diri!" ucap sarkastik Biyan sambil terus menarikan jari-jari tangannya di atas senar-senar tebal tersebut.

Beberapa menit kemudian.

Setelah Biyan mulai merasa kelelahan dengan jerih payahnya untuk mengusir pergi amarahnya. Ada seseorang yang menggedor paksa pintu kamarnya. Keras, penuh emosi juga sepertinya.

"LO BUKA PINTUNYA ATAU GUE DOBRAK, BRANDAL!" teriak seorang pria dari balik pintu tersebut.

Sialan! Mau mati! Berani-beraninya berlaku kasar di rumah gue apalagi di sekitar kamar gue. Brengsek!

Biyan melepaskan gitarnya, melemparnya asal ke atas kasur dan melangkahkan kaki sigap ke arah pintu. Dia membukanya cepat dan pandangannya langsung tertancap pada sosok manusia tidak berwujud yang sok bersih dan sok orang kaya. Siapa lagi kalau bukan tikus got yang diangkat derajatnya baru-baru ini. Deva, ya.

"Lo bisa tidak? Sopan dikit?" ujar Deva. Pria seumuran Biyan, mungkin lebih tua beberapa bulan, yang kalah tinggi beberapa sentimeter dari Biyan. "Yang hidup dan tinggal di sini itu bukan lo saja. Banyak anak kecil, banyak yang butuh ketenangan. Termasuk gue!"

Biyan tidak menghiraukan sama sekali apa yang diucapkan Deva. Dia malah sibuk memandangi kumpulan populasi tikus got lain yang ada di belakang Deva. Ada sekitar 10, bukan, 12, bukan, 13, dan ditambah satu tikus got baru ini maka terkumpulah 15 tikus got yang siap menyerangnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Berawal Dari KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang