Cato dan Clove

150 14 21
                                    

Saya, Clove, mengambil Anda, Cato, untuk menjadi suami saya yang sah secara hukum, teman saya terus-menerus, pasangan saya yang setia dan cinta saya sejak hari ini. Di hadapan Tuhan, keluarga dan teman-teman kita, saya menawarkan sumpah khidmat saya untuk menjadi mitra setia Anda dalam sakit dan kesehatan, di masa baik dan di buruk, dan dalam sukacita serta dalam kesedihan. Saya berjanji untuk mencintai Anda tanpa syarat, untuk mendukung Anda dalam tujuan Anda, untuk menghormati dan menghargai Anda, tertawa dengan Anda dan menangis dengan Anda, dan untuk menghargai Anda selama kita berdua hidup.

***

Ketika aku tiba di hutan, hari ternyata masih pagi. Udara dingin bekas hujan menusuk tengkuk, gigiku bergemulutukan. Aku merapatkan jaket. Kuinjakkan sepatuku di rerumputan yang berembun dan kulangkahi cepat-cepat ke arah sungai di ujung hutan.

Di tepi sungai ada sebuah batu besar, tersembunyi berkat daun-daun pohon willow yang tumbuh lebat. Aku suka duduk di sana. Sembari mencungkil sarapan, aku menunggu matahari yang terbit di balik gunung. Aku memanjat ke atas. Permukaannya yang datar memudahkanku menyamankan bokong. Aku membuka ranselku. Sepotong roti dari tukang roti kujejalkan ke dalam mulut. Enak sekali, di dalamnya ada kismis dan kacang.

Seekor kadal melintas lewat. Aku meraih pisau lipat di kantung celana dan melemparkannya. Pisau itu menancap di punggungnya yang menjijikan. Darah mengalir keluar dari bawah tubuhnya. Aku menarik senyum. Kegiatan ini sungguh menyenangkan.

Setelah menarik keluar pisau dari punggung kadal malang itu, aku melompat turun dari atas batu. Perburuanku dimulai sekarang.

Sinar matahari mulai menyilaukan mata selagi aku berjalan masuk ke kedalaman hutan. Pohon-pohon tumbuh sangat rapat saat aku masuk semakin dalam. Dahan dan ranting yang mengganggu jalan kutebas dengan salah satu pisau besar kesayanganku. Saat aku semakin dalam, udara menjadi lebih dingin, jadi aku  semakin merapatkan jaket di tubuhku.

Semak-semak bergemerisik, seekor kelinci melompat keluar. Aku melemparkan pisau besarku ke arahnya. Entah mengapa, dia lebih cepat. Pisauku tidak mengenainya. Aku berdecak kesal. Hilang sudah satu buruan lezat. Daging kelinci itu bisa dibuat sup oleh ibuku. Aku memungut pisauku di rerumputan dan berjalan lagi.

Kali ini aku melemparkan sebuah batu ke sebuah semak berry. Kawanan burung yang kaget, terbang keluar dari semak. Aku menatap kawanan burung itu selagi mereka terbang menjauh. Itu kawanan burung Mockingjay. Mereka terkenal karena bisa menirukan suara manusia. Indah sekali, tapi aku tidak terlalu peduli. Dagingnya bisa dibakar dan dimakan dengan bubur gandum. Tanganku meraih pisau berukuran kecil di dalam ransel. Aku membidik dan melemparkannya sekuat tenaga.

Kena, pikirku. Tapi tidak. Lagi-lagi mereka terlalu cepat.

Kawanan burung Mockingjay semakin jauh dari pandangan. Sudahlah, pikirku. Mungkin aku sedang tidak beruntung hari ini. Aku harus segera ke pusat latihan. Tapi pertama-tama, aku harus menemukan pisauku.

Aku melompati semak berry . Sebelum beranjak, kupetik beberapa buahnya dan kulemparkan ke dalam mulutku. Rasa manis meledak di dalam mulut. Aku mengunyah beberapa lagi sambil mencari-cari letak pisauku di rerumputan.

"Apa-apaan?!"

Aku hampir tersedak. Ada suara seorang laki-laki dari balik pohon oak, tepat di depanku. Lalu suara itu menghilang seperti angin. Aku berjingkat ke arah pohon. Pelan-pelan kujulurkan kepalaku di baliknya. Aku hampir kena serangan jantung saat melihat apa yang ada di balik pohon oak itu.

Seorang anak laki-laki berambut pirang berantakan. Dia duduk santai di rerumputan. Tangannya memainkan sebilah pisau kecil--

Tunggu dulu. Pisau kecil?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OUR STORY ( CLATO - THE HUNGER GAMES FANFICTION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang