26

1.8K 209 12
                                    

26

Seth:

"Panasmu sudah turun, sobat?" lirihnya.

Aku mengancing jas dokterku dengan mulut terkatup rapat. Memeriksa tetesan infus yang sudah habis setengah.

"Seth..?"

"Tutup mulutmu. Kau baru kehabisan banyak darah.."

Dia terdiam. Mata sayunya menatap langit-langit putih ruang rawat ini. "Lissa tahu?"

Aku menggeleng. "Aku tidak memberitahunya.."

"Trims."

"Sama-sama. Jangan banyak bicara. Jangan menanyakan Lissa, atau pemegang saham, atau apalah. Kau harus diam dan beristirahat.. Dad akan segera datang." Aku mencatat perkembangan kesehatan Aiden untuk hari kedua ini. Tidak ada perubahan significant. Ia masih dalam taraf bahaya, dan kemungkinan akan dioperasi lagi dalam waktu dekat..

Aku. Aku yang akan mengoperasinya.

"Baru kali ini kau merawat saudara kembarmu di RS, ya?" desah Aiden.

"Kau CEO yang galak dan banyak omong, plus jarang sakit."

"Yeah, aku memang jarang sakit."

"Aku akan segera memeriksa CCTV jalan dan melaporkan orang brengsek yang menabrakmu." Aku menandatangani dokumen sebagai wali, juga dokternya. Aku bertanggung jawab penuh terhadap--

"Boleh aku meminta sesuatu?" tanyanya dengan suara lemah. Entah mengapa terdengar lebih hangat.

"Kau mau minum?"

Dia menggeleng. "Bukan.."

"Lalu? Makan? Biar kuambilkan-"

"Kalau aku mati.." potongnya. Jantungku berdegup cepat, dan pikiranku mendadak menjadi hampa karena kalimat itu. "Pastikan Lissa yang mendapatkan mataku.."

"Aiden, kau--"

"Tolong."

"Tutup mulutmu, Aiden. Jangan sembarangan bicara!!"

"Jangan mengomeli pasien. Aku bisa melaporkanmu pada orang yang berwajib, Sobat." Dia tersenyum tipis. Aku berbalik badan, mengendalikan wajahku. Aku tidak tahan menghadapi ini semua. Aku tidak bisa.

"Dan.." gumamnya. "Aku menitipkannya padamu, pastikan dia menikah de-dengan orang yang tepat.." Dia menangis. Tangisannya terdengar putus asa dan meredam. Ia terdengar berusaha menahannya.

"Jangan menikahinya, kau tidak boleh.. Tapi.. bantu di-dia untuk melihat lagi, ya.."

Tanganku yang memegang papan berisi dokumen pasien mengeras.

"Dia harus di urutan pertama.. yang mendapat mataku. Dr. Seth, aku meminta ini sebagai pasien. Bu-bukan saudaramu.."

Aku kembali berbalik, dan melihat wajah Aiden sudah memerah dan basah. Dia masih menatap langit-langit kamar dengan tatapan putus asa.

"Kau tetap hidup. Kemungkinan hidupmu sangat besar, Aiden. Jangan bersikap dramatis! Jangan membuatku marah!"

Salah satu ujung bibirnya terangkat, Ia menatapku dengan sudut matanya. "Aku sempat sekolah kedokteran, walaupun akhirnya keluar, Seth.. Aku tahu benar cara membaca monitor ini dan apapun yang terjadi padaku sekarang."

Air mataku mengalir.

"Itu tadi permintaanku.. Bisa jadi permintaan terakhirku? Biarkan mataku menjadi milik Lissa, Dokter.."

MOMENTO | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang