Denia Pov Side

35 2 1
                                    


Laki-laki itu, entah aku harus menyebutnya apa. Rambutnya yang kecoklatan, mata coklatnya yang bening, rahangnya yang tegas dan tubuhnya yang tinggi kokoh membuatku terpana saat pertama kali aku menatapnya. Laki-laki yang tidak sopannya datang ke toko bungaku lalu pergi begitu saja. Aku penasaran dengan apa yang digoreskan dikertasnya saat pertama kali kami bertemu. Disaat aku akan menghampirinya tiba-tiba Ibu datang padaku menyuruhku untuk masuk ke dalam. Ada perasaan tidak rela dalam diriku karena pergi meninggalkannya. Kulirik sekali lagi wajahnya yang tengah menatapku juga lalu benar-benar hilang di depannya.

     Keesokan harinya ia datang lagi. Aku takut menghampirinya jadi aku hanya bisa mengintipnya dalam diam. Ia tampan. Sangat tampan. Aku meliriknya yang membawa kamera. Untuk apa kamera itu? aku menaikkan sebelah alisku. Ia tengah berbincang-bincang dengan Ibuku. Entah apa yang di perbincangkan, aku tidak bisa mendengarnya. Tiba-tiba dia melihat ke dalam toko. Dengan gugup karena takut ketahuan mencuri pandang darinya kuputuskan untuk berpura-berpura sedang merangkai bunga. Pikiranku mulai tidak fokus dan akhirnya untuk menghilangkan degup jantung ini yang semakin kencang, aku mulai beranjak pergi tanpa menoleh ke arah laki-laki tampan itu.

     Seminggu telah berlalu dan ia tidak penah menampakkan batang hidungnya di toko bungaku lagi. Namun, hari ini ia datang. Awalnya aku senang tapi perlahan  mulai bingung. Ia berteriak kepadaku. Aku tidak mengerti maksud ucapannya itu. Ia berbicara terlalu cepat sehingga aku tidak bisa membaca gerak bibirnya. Setelah ia mulai berhenti ia mulai menatapku penuh harap. Apa maksudnya itu? aku ingin bertanya namun tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Akhirnya aku membuat isyarat bertanya apa yang tadi ia katakan agar dia mengerti. Namun sepertinya tidak, ia menatapku bingung. Aku mencoba untuk tersenyum dan mengulangi kata isyaratku dengan perlahan agar dia mudah mengerti. Namun itu tidak berhasil, ia malah menatapku terkejut. Dan tanpa alasan dia berlari meninggalkanku. Aku bingung, ada apa dengannya?

     Semenjak insiden itu aku terus memikirkannya. Ia tak pernah datang ke toko ini. Aku mulai merasakan rindu. Aku ingin sekali melihat wajah tampannya walau hanya sebentar dan malam itu harapanku terkabul aku melihatnya datang kemari dengan nafas terengah dan bulir-bulir keringat yang membasahi pelipisnya itu. Dengan reflek aku menyeka keringat di pelipisnya itu. Ia tersenyum hangat padaku, membuatku balas tersenyum padanya. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah kotak berudu berwarna merah dan membukanya. Ternyata sebuah cincin perak berhiaskan batu safir. Aku terkejut saat tiba-tiba dia meraih tanganku dan menyematkan cincin itu di jari manisku. Ia mulai berbicara padaku namun lebih pelan tidak seperti kemarin. Aku mengerti ucapannya dengan melihat gerak bibirnya. Jadi itu alasannya saat kemarin ia pergi begitu saja. Ia terkejut karena aku adalah seseorang yang memiliki keterbatasan. Aku mulai murung karena ternyata laki-laki itu tidak menerima keadaanku namun, kesedihanku tergantikan dengan raut bahagia saat melihat gerak bibirnya bahwa saat ini ia tengah melamarku. Aku tersenyum dan membalasnya dengan isyarat bahwa aku menerimanya, namun lagi-lagi ia menatapku bingung. Kuputar otakku agar dia mengerti dan dengan senyum mengembang aku mulai membuat pola hati dan ternyata dia mengerti. Ia tersenyum padaku dan memelukku erat. Aku terkejut, namun dengan perlahan aku membalas pelukannya.

     Terimakasih Tuhan. Ternyata Kau memang adil. Semoga laki-lagi yang tengah memelukku ini adalah takdirku. Aku berharap agar terus berada disisinya untuk selama-selamanya.

Love at First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang