Jika manusia disebutkan tanggal berlakunya, gadis kecil itu sudah kedaluwarsa.
Perutnya mengeluarkan darah.
Sebanyak apa?
Ya, banyak. Cukup banyak hingga bisa diperas dari gaun kecilnya.
Rasa sakit mendera tubuh mungilnya tanpa ampun.
Tentu saja, rasa sakit tidak peduli ampun.
Pun mana kenal rasa sakit dengan tua muda, kaya miskin? Rasa sakit tidak pandang bulu. Sama tidak pandang bulunya seperti peluru yang mengoyak perut gadis kecil itu.
Otaknya mulai kering akan darah, menipu si gadis dengan halusinasi yang terasa sangat masuk akal. Seperti rangkaian listrik yang korslet, sekelibat cahaya, suara, muncul.
Kemudian, semua menghilang.
Prajurit yang membunuhnya mendekati tubuhnya.
Salah bidik, tentunya. Berlanjut jadi salah tembak.
Tapi, ya sudah, lah.
Senapannya ia sandang di bahu untuk mengangkat si gadis kecil.
Tubuh mungil si gadis layu. Darah menetes-netes dari ujung rempel gaunnya, seperti cucian yang belum kering.
Si prajurit membawa tubuh si gadis beberapa langkah, lalu menyandarkannya ke sebuah batu.
Gadis kecil itu sudah mati. Mau ditaruh di mana saja tidak apa.
Tidak dikubur. Hanya ditaruh di samping batu besar tidak apa. Toh, ia tidak ada bedanya dengan batu yang ia sandari. Sama-sama pucat. Sama-sama tidak hidup. Gadis kecil itu hanya sedikit lebih cantik saja.
Sang prajurit menahan senapannya kembali di depan tubuhnya, dan berderap, menembus debu.
![](https://img.wattpad.com/cover/77195582-288-k546984.jpg)