Jika manusia disebutkan tanggal berlakunya, prajurit itu sudah kedaluwarsa.
Tapi, prajurit itu telah melampaui batas.
Ia sudah mati. Agar tidak ketahuan, ia pura-pura hidup.
Sudah berapa banyak mesin yang dibuat untuk mendaur ulang sampah. Namun, malang baginya, manusia belum bisa membuat mesin yang dapat mendaur ulang hidup.
Kini, sang prajurit menjalani hidupnya dengan tengik, menanti seseorang untuk membuangnya.
Bagi dia, nyawanya dan nyawa orang lain sama saja: tidak berharga. Hanya saja, lebih mudah baginya untuk membuang nyawa orang lain.
Kadang, ia salah membuang nyawa yang masih baru. Tapi, salah sekali-dua kali, wajar, lah. Ia tidak bisa selalu benar, walau ia selalu memilah.
Sang prajurit kembali bertengger di atap, dan membidik, memilah nyawa dengan lebih baik.