"Duluan mana, ayam apa telor ?". Tanyaku masih berdebat dengan bocah tengik bau ingus yang tak kalah heboh denganku.
"YA AYAM LAH, SIAPA YANG NGELUARIN TELORNYA? NENEK KABAYAN!?". Teriak adikku tepat di benak telingaku sempat berdengung sedemikian rupa beberapa detik.
"Gosah teriak-teriak dikuping gue kali dek! Kampret lu emang! Mau gue bunuh lo?". Bocah tengik kampret itu lansung lari kocar-kacir sekeliling rumah.
Memang lari si kampret itu sangat cepat mengalahkan Mclaren di Midtown Madness, tapi dia bodoh lari tidak tentu arah. Dan disinilah dia terperangkap, di sudut meja ruang tamu dikepung oleh kursi jati yang tiga kali lebih besar dari tubuhnya, menyelinap kebawah pun takkan bisa karena akan memperlambat pergerakan-nya sehingga akan ter-terkam olehku.
"Mau kemana lo, hah!? Gabisa lari kan, lo sih.. bodoh!". Kataku berkacak pinggang dan mengeluarkan seringaian tajam tepat kearahnya yang sudah mati ketakutan.
"Ampuuun kak, suwer maap ya tadi khilaf".
"Khilaf!? Apa lo ulang lagi!? Khilaf?". Aku mulai mendekat, dan menyiapkan tangan untuk meremas daging lugu ini.
Dia semakin ketakutan, terlihat tubuhnya bergetar, seketika kemudian...
"MAMAAAA KAK TIA JAHAT MAU BUNUH AKUU!". Lantas aku lansung membekap mulutnya dengan gemas kugigit bahunya.
Dia semakin memberontak, kupeluk erat badan kecilnya dan menggiringnya masuk kamar. Namun naas, bocah kampret ini menggigit jariku hingga kebas. Dia kembali melesat ke lantai bawah.
"RIOOO ANYING SINI LO BANGSAT BENERAN MAU MATI LO HAH!". Air mataku tak terbendung lagi, jari ini rasanya seperti putus tak berdarah.
Beginilah keseharian ku dirumah 'No fight no life' jika tidak dengan adikku Rio, aku battle dengan abangku Genta jika tidak ada keduanya dengan papa tentunya. Mama? No, BIG NO she's my life my soul the purpose of my existence, yang pastinya tidak boleh diganggu gugat jika tidak ingin mati duluan. Mati kutu maksudnya.
Namaku Cyntia Bertin, biasa dipanggil Tia dan paling benci jika ada makhluk yang memanggilku dengan bagian depan namaku Cyn, kan taik jadi rempong. Saat ini aku duduk dikelas X di SMAN 10 Jakarta. Cukup berkenalannya, seiring berjalannya waktu kalian akan mengetahui seluruh seluk-beluk kehidupan 'The Conjuring' keluargaku.
***
"Tes..tes.. satu dua tiga tes.. Diberitahukan kepada seluruh siswa, diulangi SELURUH SISWA agar masuk ke aula sekarang juga. Sekali lagi diberitahukan kepada SELURUH SISWA KELAS SEPULUH SAMPAI DUA BELAS MASUK KEDALAM AULA SEKARANG JUGA. Terima kasih." Suara Pak Tatang Machtiar guru paling garing dan ganas di SMA Negeri 10 Jakarta memanggil-manggil anak ayam agar masuk ke kandang.
Pagi ini disekolah ada penyuluhan dari BNN (Badan Narkotika Nasional) tentang rokok dan narkoba tentunya. Semua siswa digiring masuk kedalam gawang, untuk mendengarkan cuap-cuap pria brewokan dengan perut buncit yang selalu menggaringkan suasana alias melucu tapi tidak lucu dan ketawa sendiri.
Aku beserta rombongan kelas XE cap badak dengan gontainya berjalan kearah kursi paling depan. Lantas semua orang yang berada didalam aula melirik kami dengan kesal karena acara sudah dimulai 10 menit yang lalu.
Baru saja pantatku mencecah kursi, Bapak berbadan besar yang sedang memegang eskrim berwarna hitam itu, menyuruh aku menjadi suka relawan memperagakan olesan drama yang terpampang dilayar proyektor.
Bapak itu kemudian memanggil anak yang lain, Nugie. Lihatlah betapa munafiknya raut wajah yang dibuatnya. Cih, dia pikir aku akan salah tingkah karena harus berdrama dengannya apa? Dia memang pernah bikin jantung aku abnormal, tapi itu dulu beda dengan sekarang. Sekarang mah bodo amat!
YOU ARE READING
RETOLD
Teen FictionAku tidak gagal. Aku hanya menemukan 10.000 cara yang tidak bekerja. Memang dalam kehidupan ini tidak ada yang pasti. Tetapi kita harus berani memastikan apa-apa yang ingin kita raih. Berbicara soal cinta, kita cukup menjawab sendiri karena artian c...