Prolog

2.9K 132 7
                                    

"Ra, Noura," tepukan halus di bahu perlahan mengembalikan kesadaranku, "Hei, My Bear..."

Aku mengerjapkan kelopak mata beberapa kali sebelum benar-benar bangun. Berusaha bangun tapi seketika pandanganku kembali berputar. Tubuhku juga tidak bisa diajak bekerja sama. Lemah seakan tanpa tenaga. Mungkin karena kesadaranku belum kembali seratus persen.

"My Bear," Kak Jiyad menarikku ke dalam pelukannya, "Tumben kamu ketiduran di sofa. Capek banget, ya?"

"Hm," aku bergumam sambil menyandarkan kepalaku di dada bidangnya, "Ya, tadi habis jemput Cacha aku....Ya Allah, Kak! Cacha mana?" Panik aku menatap Kak Jiyad.

Ingatan terakhirku adalah aku menjemput Cacha dari sekolah lalu menemaninya berenang di lantai empat. Setelah itu kami kembali ke apartemen. Berenang membuat Cacha segera terlelap dan aku memutuskan menggunakan waktuku untuk menyiapkan hidangan berbuka puasa. Hari ini Ramadan hari pertama dan Kak Jiyad sudah berjanji akan pulang lebih awal dari kantor. Aku ingin menyiapkan hidangan istimewa, kolak pisang kesukaan Kak Jiyad. Tapi entah bagaimana aku berakhir dengan tertidur di ruang tengah.

"Cacha baru selesai mandi," Kak Jiyad tertawa kecil, "Kamu tahu nggak dia cuma mau mandi kalau bareng boneka biri-biri yang dulu dibeliin Abby?"

"Dan Kakak ngizinin?" Tenagaku mulai kembali hingga aku mampu untuk melemparkan tatapan tidak percaya bercampur kesal ke arahnya.

Kak Jiyad sangat memanjakan Cacha. Hampir semua yang diinginkan oleh Cacha diperbolehkannya. Termasuk mengikuti kelas bela diri dan gymnastic. Hampir enam tahun sejak kami memiliki Cacha tapi sepertinya dia tidak akan pernah belajar mengucapkan tidak kepada Cacha.

Kak Jiyad mengangguk yakin, "Tapi sebelum kamu marah, Cacha nggak jadi mandi bareng biri-birinya. Waktu mau masuh ke shower booth dia nanya, Pa, kalau biri-birinya mandi basah, dong? Aku iyain dan...batal!"

Tawaku seketika pecah. Sejak kelahirannya Cacha selalu penuh kejutan. Dia gadis kecil yang cerdas. Kak Jiyad dan aku berulang kali dikejutkan dengan tingkah lakunya. Beranjak besar, ucapannya yang lebih sering menarik perhatian kami. Kadang-kadang aku merasa takut. Takut seandainya tidak bisa menjadi orang tua yang baik bagi Cacha. Tidak cukup untuk membantunya berkembang mencapai titik maksimal.

"Sekarang Cacha mana?" Biasanya aku menyukai aroma tubuh Kak Jiyad tapi anehnya, kali ini tidak. Aku merasa mual ketika menghirupnya. Padahal Kak Jiyad tidak mengganti parfumnya. Ada apa denganku?

"Lagi mewarnai di kamarnya," Kak Jiyad melingkarkan kedua tangannya di pinggangku.

"Tebakanku, Cacha pasti bukan ngewarnain buku mewarnanya tapi ngewarnain denah kerjaan Kakak yang nggak kepakai, kan?"

Kak Jiyad menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar.

"Berapa kali aku harus bilang kalau..." aku membiarkan kalimatku menggantung karena tahu kalau itu percuma.

Sejak Cacha tertarik pada warna, Kak Jiyad mulai membawa pulang gambar denah, interior, tampak, perspektif dan berbagai gambar detil yang sudah tidak terpakai di kantor untuk diwarnai oleh Cacha. Kak Jiyad memang tidak pernah mengharuskan Cacha menggunakan warna tertentu atau mengatur pilihan warna yang digunakan Cacha. Dia membebaskan Cacha. Tapi aku tahu kalau ini cara Kak Jiyad memperkenalkan Cacha pada dunianya. Kak Jiyad tidak pernah mengatakannya secara langsung tapi aku tahu kalau dia ingin Cacha mengikuti jejaknya. Aku sempat panik dan curhat ke Adhia. Tapi kemudian aku memutuskan untuk membiarkannya selama Kak Jiyad belum bertindak berlebihan.

"Kakak nggak lupa pakaiin minyak kayu putih sama bedak, kan?"

"Beres, My Bear. Tapi bajunya dia pilih sendiri. Atasan bunga-bunga dan celana kotak-kotak."

"Itu nggak matching, Kak!"

"Aku tahu, tapi aku bisa apa? Cacha itu kayak kamu. Kalau udah mau sesuatu susah buat dilarang. Sama sekali nggak terima penolakan."

"Bilang aja kamu yang nggak tega," aku berusaha berdiri tapi pandanganku kembali berputar dan aku kembali jatuh terduduk di sofa. Tepat di samping Kak Jiyad.

"Bear, are you okay?" Tidak ada lagi nada bercanda dalam suara Kak Jiyad. Berganti dengan rasa panik dan ketakutan. Ini bukan yang pertama kalinya aku alami.

"Nggak apa-apa, Kak. Cuma agak pusing," aku memijat pelipis kiriku beberapa kali dan Kak jiyad kembali menarikku ke dalam pelukannya, "Dan aku belum masak untuk buka puasa. Padahal hari ini Kakak sengaja pulang cepat.

"Bear, kita pesan aja, yuk?" Kak Jiyad menenggelamkan wajah pada rambutku, "Udah lama, kan, kita nggak makan chinnese food? Cacha juga sekarang makannya udah nggak susah kayak dulu, kan?"

"Tadinya aku pengin bikin kolak pisang kesukaan Kakak."

"Kolak pisangnya besok aja kalau kamu udah enakan," Kak Jiyad mencium puncak kepalaku, "Yang penting hari ini kita bisa buka puasa bertiga."

"Beneran nggak apa-apa?" Aku berbalik menatap Kak Jiyad.

"Beneran," Kak Jiyad mengambil smartphone dari saku celananya, "Kamu mau pesan apa? Yang biasa?"

"Iya. Yang biasa aja," aku berusaha untuk berdiri. Kali ini sepertinya aku sudah berhasil mengumpulkan kekuatanku, "Aku lihat Cacha dulu ya, Kak."

Tanpa aku duga, Kak Jiyad menghampiriku lalu meletakkan sebelah tangannya di lututuku dan sebelu lagi melingkari punggungku. Beberapa detik kemudian aku sudah berada dalam gendongannya.

"Kaaak! Turunin! Malu sama Cacha!!"

Kak Jiyad tertawa. Tanpa menggubris protesku, dia berjalan menujur kamar Cacha. Ketika sampai di depan pintu aku tidak punya pilihan selain membuka pintu kamar anak semata wayang kami. Bayangkan, aku berada dalam gendongan Kak Jiyad. Sedikit memalukan.

Cacha sedang asyik mewarnai salah satu gambar interior resort yang sedang dikerjakan Kak Jiyad ketika kami masuk. Perhatiannya teralihkan oleh suara pintu yang terbuka. Seketika dia terkikik geli dan berujar malu-malu, "Mama kayak princess di dongeng."

Pipiku seketika bersemu, untungnya Kak Jiyad menurunkanku di samping Cacha, "Cha, Papa boleh minta tolong?"

"Um!" Cacha mengangguk penuh semangat.

"Mama lagi sakit, Papa mau pesan makan buat buka puasa. Cacha bisa jagain Mama?"

Cacha langsung meletakkan krayon yang tadi digunakan lalu memanjat bean bag pemberian Wira, uncle kesayangannya, kemudian mengalungkan tangannya pada leherku, "Cha jagain Mama."

"Makasih, Sayang," Kak Jiyad mencium kening Cacha lalu keningku sebelum dia keluar dan menelpon chinnese restaurant langganan kami.

Hari pertama Ramadan memang sangat berbeda dari rencanaku. Tidak ada kolak pisang kesukaan Kak Jiyad, suamiku. Tidak ada makan malam buatanku yang siap kami nikmati bersama. Tapi tetap istimewa karena kami berkumpul bersama.

AlwaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang