Tuesday, 19th June - Wilderspine
[05:32 AM]Aku terbangun dengan perasaan campur aduk. Kenapa aku bisa berada di kamarku? Siapa yang membawaku kesini? Apakah Deva? Aku akan mati saja jika benar Deva yang menyeretku ke kamar.
"Raya?" Teriakku samar. Raya menggumam kecil dari dalam kamar mandi. "Siapa yang bawa gue ke kamar, Ray?"
"Apa? Tar dulu, deh." Ujarnya dan segera keluar dari kamar mandi dengan bathrobe membungkus tubuhnya. "Kenapa, Ber?"
"Semalem gue kan ketiduran di--"
"Ah, itu. Tenang aja, gue sama Della yang bawa lo kesini, bukan Deva." Potongnya membuatku menghela napas lega. Untunglah.
Aku mengedarkan pandangan, "Jess kemana?" Yang kutanya hanya mengedikkan bahunya dan berganti baju.
"Kelas pagi?" Aku mengangguk. "Ya, buruan mandi dong, Berlin. Terus kita sarapan di bawah."
Aku kembali mengangguk dan meraih bathrobe milikku, lalu segera mandi.
Setelah menghabiskan 15 menit untuk membersihkan badanku, aku keluar dan memakai seragam baruku. Bagus juga. Satu hal yang kusuka dari seragam ini: Rok nya span. Gila, sih. Disaat semua sekolah ngeharusin muridnya pakai pakaian sopan, Wilderspine malah mau muridnya tampil seksi. Biarlah. Aku suka gaya mereka.
"Sekalian bawa tas aja kaliya, biar gausah bolak-balik?" Tanyaku ke Raya yang dibalas anggukan singkat. Aku pun meraih tas kecilku dan mengisinya dengan dua buku tulis kosong beserta tempat pensil dan notes untuk corat-coret. "Yuk."
Raya mengunci pintu kamar dan kami turun menuju ruang makan asrama.
"Itu, Deva. Gue ke Della dulu ya." Aku tersenyum dan Raya pamit pergi menuju pemandunya. Aku menghampiri Deva yang sedang berkutat dengan sarapan paginya, rolled pancakes.
"Selamat pagi, Deva." Sapaku ramah seraya duduk di depannya.
Deva mengernyit, "Sok imut banget anjir." Aku memutar mataku. Ini salah. Itu salah. Hidupku sungguh melelahkan.
"Jangan ngerusak mood gue, Dev."
"Selamat pagi juga, sayang." Ia mengedipkan sebelah matanya membuatku tertawa sekaligus bergidik ngeri. Aku beranjak untuk mengambil sarapanku, tapi entahlah, aku tak terlalu lapar. Mungkin aku hanya mengambil apel fuji dan sekotak susu UHT.
Deva menegak air putihnya seraya menatapku aneh. "Apel? Doang?" Aku menunjukkan susu kotak yang kupegang ke depan wajahnya. Ia mendengus dan membiarkanku makan.
"Lo kelas berapa, sih?" Tanyaku.
"12." Aku mengerjap. Demi Tuhan, ia masih terlalu muda untuk jadi senior. "Kenapa? Gak cocok kan? Emang. Umur gue juga masih 16, kita sama."
"16? Lo akselerasi?" Deva mengangguk singkat. Oh, astaga. Aku baru masuk SMA, sementara Deva akan menjadi mahasiswa tahun depan. Dunia ini begitu rumit, serumit pola kepang empat yang hingga kini tak bisa aku kuasai.
"Gue anak jenius, kan?"
"Dih? Pede jaya."
"Silit kamu dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Month With The School Guide
Teen FictionSatu bulan. Hanya satu bulan. Jujur, aku tak menyangka akan dipertemukan denganmu. Ketika kamu genggam tanganku untuk pertama kalinya, ketika kamu menjadikanku prioritas dibanding karirmu, dan ketika kamu berhasil membuatku ingin melihatmu di setiap...