#| Cerpen

44 5 5
                                    

Senja, Fajar dan Juga Mentari

Sore itu, aku harusnya tau, jawabannya. Aku harusnya tau keputusannya, jadi harusnya sore itu hatiku tak mungkin hancur lebur saat menerima undangan sialan ini. Harusnya aku yang meninggalkannya sore itu, bukan ucapan bodoh yang keluar dari dirinya yang membuatku ingin mati saja saat itu juga. Seharusnya aku mendengar semua ucapan Tia, yang menyuruhku menjauhinya, karena dia asshole, kurang ajar atau apalah semua itu. Aku seharusnya juga bisa menjaga hatiku dari awal, supaya tak jatuh padanya. Laki laki itu.

Ah sial!

Terlalu banyak kata seharusnya disana. Seharusnya inilah, seharusnya itulah. Kepalaku sampai pening dibuatnya.

Kuangkat tanganku yang terdapat undangan pernikahannya dengan seseorang yang sempat menjadi penghalang kami. Ouch, kami? Bahkan sekarang aku benci sekali menyebutnya dengan kami. Akh... aku harus menelpon Tia untuk ini, ya dia orang yang tepat.

Ku cari nomer Tia di benda canggih persegi empat itu dan menelponnya. Disambungan ketiga, terdengar suara lembut namun tegas khas milik Tia.

"Yo... kenapa Ja?"

"Lo... dapet benda itu? Fajar ngasih juga kan ke lo?"

"Benda... apa Ja?"

Suara Tia terdengar gugup disebrang sana, aku memutar bola mataku malas, Tia pasti tau apa yang ku maksud.

"Gue tau lo gak sebodoh itu untuk memahami kata kata gue Ti, gue tau lo paham"

"..."

Tak ada jawaban disana.

"Ti lo disana kan?"

"Ya... Ja, sore nanti gue kerumah lo deh. Jangan ditelpon gak enak. Oke? Seeya!"

"Eh Ti--"

Sambungan ditutup sepihak olehnya, Tia kampret! Tak ada jalan lain kalau seperti ini selain menunggunya nanti sore disini.

.•°°°•.

"Jadi?" kataku sambil mengangkat sebelah alis.

Tia sampai dirumahku sekitar 15 menit yang lalu dan langsung kutarik kekamarku. Langsung saja ku bom bardir dengan pertanyaan yang sudah kusaipkan dari tadi untuknya. Kulihat Tia menarik nafasnya dahulu, lalu mengalirlah semuanya. Yang tak kutahu saat itu, ternyata dari awal mulut Tia memuntahkan ceritanya, hatiku menghianatiku secara habis habisan. Karena malamnya, aku habiskan dengan menumpahkannya dibalkon depan kamar. Meraung sambil mengambil foto foto 'kami' dulu.

.•°°°•.

"Ya Ja, Fajar ngasih undangannya itu ke gue. Awalnya gue nolak habis habisan dan marah marah kedia karena nyakitin lo terus. Bahkan gue ngusir dia saat dia belum ngomong sepatah katapun sejak dia datang kerumah selain bilang kalo mau ngasih undangan sialan ini. Gue gak tau lagi saat itu. Dia narik tangan gue Ja, dia minta kita ngobrol bareng. Dan saat itu gue tau, kalo dia emang bener bener kacau. Bahkan lebih kacau dari lo saat dia pergi.

Dia ngajak gue buat ngobrol dicafe langganan lo sama dia dulu. Karena gue kasian juga sama dia yaudah gue iyain. Awalnya dia throwback terus, ngomongin kalo lo berdua suka banget sama cafe ini dan bla bla bla. Saat itu gue udah mumet banget dengernya dan gue minta dia buat langsung keintinya aja. Saat itu dia langsung bungkam dan mukanya jadi beda.

Gue gak tau ekspresinya gimana, pokonya aneh. Terus juga, sebelum dia ngomong sama gue, dia kayak ngelirik kanan kiri dulu kayak takut ada yang nguping. Dan... saat itu gue tau, dia masih suka sama lo Ja, mungkin lebih.

Dia cerita kegue kalo dia nikah sama Mentari karena dia dipaksa sama orang tua Mentari. Orang tua Mentari bilang kalau Fajar gak nikahin Mentari, dia bakal bikin ancur keluarganya Fajar dan...

Ngancurin lo Ja"

Aku terpaku dan kurasa saat itu air mataku mengalir. Jadi itu alasannya.

"Fajar gak mau hal itu terjadi, jadi dia milih nikahin Mentari dan nyampakin lo Ja. Fajar sama merananya kayak lo. Dia milih menjauh dan ngelindungin lo dengan cara itu.

Dan yang gue denger, dulu dia bahkan nyakitin diri sendri karena gak bisa ketemu sama lo. Dia jadi kayak orang depresi dan gue liat betul bekas luka yang dia buat.

Dia ngasih undangan ke elo juga?"

Aku mengangguk tanpa bisa berkata kata.

Tia tersenyum menenangkan, " undangan yang Fajar kasih untuk lo itu beda Ja, Fajar bilang dia masukin surat khusus buat lo, menurut gue, buka dan baca itu Ja, gue gak mau lo salah langkah. Karena setelah ini, lo bakal nentuin jalan lo sendiri. Pesan gue, be your self dan lakuin apa yang menurut lo baik. Oke?"

Dan sekarang, sialnya karena surat itulah hatiku kembali berdarah mengeluarkan nanah. Aku merasa sangat jahat. Haruskah aku memenuhi permintaannya? Atau aku biarkan saja dia dan merelakannya dengan perempuan itu?

Kembali, hatiku merasa tak rela mendengar option yang kedua. Dan kini, akupun juga tak akan pernah rela bila Fajar harus meninggalkanku.

.•°°°•.

"Kalo emang itu yang lo pilih, senyum dong! Jangan sedih begini ah!"

Aku memandang Tia dengan senyum lemah. Ini memang bukan keinginan ku. Namun, apa aku bisa egois saat keluarga lelaki yang aku cintai diancam bahaya?

Maka inilah pilihanku. Dan aku tidak menyesalinya.

"Mau pamit dulu ga sama mempelainya? Apa mau nunggu disini?"

"Gue... tunggu disini aja"

"Oke"

Tia meninggalkanku dan menuju kepelaminan untuk berpamitan pada mereka. Dari sini aku hanya bisa tersenyum pedih saat Mentari tersenyum sangat lebar saat Tia menghampirinya.

Dan sekali lagi, aku ini siapa?

Saat itu, Fajar menatapku. Dia menatapku dengan kesedihan yang begitu memancar dari dalam iris kelamnya. Aku tak bisa menatapnya lebih lama dari ini,  karena aku pun tak akan bisa menahan tangisku lebih lama dari ini juga. 

Karena itu aku memilih pergi.

Merelakan dia, cinta masa laluku, dengan sahabat masa kelamku.

.•°°°•.

A.n.

:')

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita Pendek [ Cerpen ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang