00

2.2K 172 32
                                    

Halooo~ aku publish Aftertaste lagi tapi dengan judul berbeda. Moga pada nggak bosen ya baca lagi. Juga dukungan kalian sangat berarti untuk author yang labil ini. Selamat membaca~

-

Yerin

Ingin melarikan diri dari dunia saja rasanya—pergi ke neraka mungkin lebih baik. Semua yang kulakukan selalu terasa salah dimata orang lain. Apa memang sudah takdirku dilahirkan sebagai manusia bobrok seperti ini.

Mendadak mataku terasa panas, merasakan pilu tiba-tiba merangsek didada. Ah, menyebalkan. Kenapa perasaan semacam ini selalu datang padaku akhir-akhir ini. Sungguh, aku tidak ingin menyesali apapun. Aku tidak ingin menyesal bahwa hari ini aku telah dikeluarkan dari pekerjaan dengan cara yang tidak adil.

Seharusnya sejak awal aku menyadari bahwa bosku memang bukan atasan yang baik—percaya begitu saja pada karyawan baru yang memang adalah keponakannya sendiri. Dia mengeluarkanku hanya karena aku tak sengaja menumpahkan teh ke baju keponakan kesayangannya. Astaga, rasanya seperti melakukan pekerjaan sia-sia saja selama ini.

"Jogiyo ajumma, tolong tambahkan lagi isi gelasnya?" (permisi bibi).

Kepalaku terasa berdenyut sakit. Tapi hanya mau melupakan segalanya. Beban yang ku pikul sendiri terasa seperti merontokkan setiap inci pundakku. Ingin berteriak kalau bisa, tapi ini tempat umum.

Bibi bercelmek bunga matahari datang padaku. Mengisi gelas besarku dengan beer hingga penuh.

"Terimakasih." Kataku tersenyum ramah, lalu dibalas dengan gelengan tak habis pikir olehnya. Mungkin bibi bercelmek menganggapku gadis kesepian yang terus meracau bak manusia idiot yang kurang kerjaan.

Sementara diantara raut prihatin si bibi pemilik warung tenda, beliau memerhatikan aku yang hang over parah sambil berujar sarat akan rasa kasihan. "Sebaiknya agassi menelpon seseorang untuk membawamu pulang." (nona).

Aku terkekeh-kekeh, mengangguk kecil sambil menggumamkan kata oneshot berulang kali tanpa sadar. Sisa kesadaranku nyaris terkikis habis. "Ndee..." Kataku tidak benar-benar serius. Aku ini tidak memiliki siapapun yang bisa diandalkan.

Mengabaikan rasa mual pada perut, aku kembali menenggak beer yang tersisa. Tenggorokanku perih dan juga panas. Aku tahu bukan kapasitasnya kalau perutku mampu menampung lima gelas besar beer. Tapi aku tidak peduli.

Astaga. Menyedihkan sekali rasanya hidup ini. Bahkan untuk minum saja tak ada yang menemani. Kesepian dan terlempar dalam sisi yang tak pernah orang-orang ketahui. Dunia kelam seorang Jung Yerin.

Mungkin diluar sana aku selalu terlihat ceria dan memasang wajah ramah kepada semua orang. Hidup bagai seorang gadis yang paling beruntung didunia. Walau sesungguhnya itu hanya kedok bahwa aku hanya manusia paling kesepian didunia. Tak ada yang menginginkan ku dan aku hanya hidup sebagai bayangan didalam keluargaku sendiri.

Aku bahkan berani bertaruh bahwa satupun tetanggaku  tidak ada yang mengenalku. Aku terlalu abu-abu. Sejak dulu memang begitu. Iya, aku tahu. Menjadi anak yang tak pernah diinginkan dalam keluarga adalah satu-satunya identitasku. Coba saja pergi kerumah ku dan cek apa ada diriku dalam foto keluarga yang terpampang jelas dalam frame besar diruang tamu.

Masih bersyukur juga namaku masih dimasukkan dalam daftar kartu keluarga. Tidak keberatan juga sih kalau tidak dimasukkan, memang dasarnya aku selalu disingkirkan dalam segala hal. Apapun itu.

Keluarga Jung yang kaya raya dan terpandang tidak membutuhkan anak hasil hubungan gelap sepertiku. Tapi kalau dipikir-pikir lagi bukan aku yang kotor, tapi kesalahan ayahku yang sembarangan menghamili wanita lain. Tetapi mereka melemparkan semua padaku, kesalahan besar mereka yang berujung pada penderitaanku. Jangan tanya dimana ibuku. Aku bahkan tak pernah melihat sosoknya dalam sepanjang hidupku.

The Day We MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang