Yerin
Aku tidak tahu apa yang Chanyeol pikirkan pagi ini. Aku juga tidak tahu kenapa dia mendadak jadi pendiam -mirip anak baik-baik- begini.
Sejak bangun tidur sikapnya berubah. Dia juga tidak banyak bicara. Malah bagus sih sebenarnya. Tapi malah aku yang merasa aneh.
Semalam dia cerewet sekali. Mengatakan ini itu, menjahiliku dan bahkan sempat membuatku kesal. Tetapi pagi ini sikapnya kontras sekali.
"Apa kau pikir nasinya bisa masuk ke mulutmu sendiri hanya dengan kau pandangi? Ayo cepat habiskan sarapanmu."
Chanyeol terkesiap. Memandang makanannya tanpa selera, lalu beralih menatapku lesu.
"Aku mimpi buruk." Ujarnya melenceng dari pembicaraan.
Alih-alih melanjutkan makan, aku memilih meletakkan sendok supku dan beralih menatapnya. "Mimpi apa memang?"
Chanyeol kelihatan menghembuskan napas berat sebelum menjawab. Seolah beban berat telah terkumpul dan menggelayuti pundaknya. "Sangat buruk. Kau tidak akan sanggup mendengarnya."
Baiklah dia tidak mau mengatakannya. Aku tidak akan memaksa. Lagipula itu mimpinya sendiri, bukan urusanku. Masih bagus aku masih mau bertanya.
Kusingkirkan apron hitam dari badanku lalu meletakkannya dipunggung kursi. Bersiap mencuci pikingku. Pagi ini aku berencana pergi ke kantor Sehun. Ingin tahu bagaimana keadaan si krempeng itu setelah ayah mengacaukan isi apartemennya.
Aku harus meminta maaf. Bagaimanapun aku sudah mengacaukan hidupnya kemarin.
Beberapa saat Chanyeol datang padaku dengan piring kotornya. Lagi-lagi pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.
"Hari ini aku mau pergi."
Chanyeol mengacuhkan ucapanku.
"Mungkin agak lama."
Baru saat itu dia menghentikan langkah. Berbalik menghampiriku dengan wajah kusut yang minta sekali disetrika.
"Mau pergi kemana?"
Ditanya begitu membuatku salah tingkah sendiri. Masalahnya aku mau menemui pria lain sementara aku sudah berstatus sebagai istrinya sekarang.
Tapi, hey, kenapa aku jadi peduli dengan pernikahan omong kosong ini.
"Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan."
Setelah mengunjungi Sehun aku berniat pulang untuk mengambil beberapa barangku yang masih tertinggal setelah beberapa tim ekspedisi mengantarkan semuanya kemari tadi pagi. Aku juga perlu berpamitan dengan bibi Shim sebelum benar-benar meninggalkan rumah.
Chanyeol mencoba memangkas jarak diantara kami, lebih dekat. Embusan napasnya terasa menggelitik dikepalaku.
Tanpa ijin tangannya bergerak memegang pundak, turun ke lengan, lalu berakhir pada punggung tanganku yang masih terbebat kasa.
Dia mengusap lukaku, lama. "Bukannya tanganmu masih sakit?"
Ku pikir dia akan bertanya mau bertemu siapa. Atau mungkin melarangku pergi seperti suami posesif yang menginginkan istri barunya selalu berada disekelilingnya.
Biasanya pengantin baru begitu, kan.
"Tenang saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Baguslah. Jangan sampai membuatku repot lagi."
Kalau dipikir-pikir lagi mana mungkin dia peduli padaku. Toh kami hanya orang lain yang kebetulan sama-sama tejebak dalam pernikahan bodoh.
Tapi mata teduh itu terlalu menyedot perhatianku. Ada seraut rasa khawatir yang tergambar jelas disana. Mungkin hanya perasaanku saja yang terlalu terbawa suasana sepagi ini. Lagipula kami baru mengenal dan tak pernah tahu kepribadian masing-masing sebelumnya. Bisa jadi dia mencemaskan orang lain, bukan aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day We Meet
Fiksi Penggemar[IN BAHASA] If i shut my mouth, would you hear my heart? It sounds like big shit, right?