Dear Nanta,
Juli 2010.
Awal masa putih biru. Seperti biasa acara MOS adalah acara wajib di setiap sekolah untuk menyambut kehadiran kami, anak baru. Ku kira MOS ini hanya menyusahkan saja, meminta tanda tangan para senior OSIS adalah hal paling menyebalkan. Pasalnya, mereka akan berlari dan bersembunyi ala-ala artis yang dikejar para fans dan wartawan. Terkadang, ada yang berpura-pura mau memberi tanda tangan dengan syarat harus menumpuk kertas mereka kemudian meninggalkannya begitu saja. Kertas yang ia pegang dijatuhkan hingga berserakan. Sebenarnya apa mau mereka? Entahlah.
Agustus 2010.
Peringatan hari kemerdekaan adalah acara tahunan di seluruh pelosok negara kita. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghargai dan menghormati para pahlawan yang telah memperjuangkan negeri ini dari koloni. Sebagai para pemuda generasi penerus bangsa tentunya banyak kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan semangat bela negara. Begitu juga di sekolah, berbagai macam lomba diselenggarakan oleh OSIS sebagai panitia.
Dan disinilah aku mulai mengenal sosok dingin nan beku. Dia terlihat begitu angkuh tak tersentuh. Digilai para senior dan seangkatan membuat aku membencinya. Ia yang hampir sempurna idaman para wanita di sekolah. Cih, melihatnya saja aku merasa jijik. Dia yang jarang bahkan hampir tidak pernah tersenyum, kaku, dan tak ada ramahnya membuatku semakin membencinya. Ketampanan parasnya tak membuat sedikit pun hatiku luluh. Kelihaiannya dalam memainkan bola basket malah membuatku semakin acuh. Kepintarannya dalam akademik malah semakin membuatku cemburu. Oh tidak, aku tak cemburu atau iri melihat ia menjadi idola. Aku tak suka melihatnya begitu sombong dan besar kepala.
Juli 2011.
Kabar begitu cepat menyebar dibawa burung-burung yang tiada hentinya bersuara. Ia menjadi buah bibir di sekolah. Satu nama yang digandrungi pindah ke luar Jawa. Aku tak ambil pusing. Bukan urusanku dan aku tak mau tahu.
Mei 2012.
Sebuah permintaan pertemanan muncul di notifikasi facebook. Namanya begitu familiar. Tanpa berpikir panjang aku menerima permintaan pertemanan melalui social media itu. Beberapa hari kemudian, ia muncul di salah satu album yang ku buat. Di dalamnya berisi ratusan foto bersama tim basketku. Ya, aku pemain basket walaupun tak sejago yang lainnya. Tak apalah. Dan anehnya, entah mengapa jemariku mengetikkan beberapa kata balasan padanya.
Juni 2012.
Sebuah kompetisi basket antar sekolah ku adakan bersama para pengurus OSIS. Lucu ya ? Aku yang awalnya membenci sekarang malah menjadi bagian dari mereka. Entah mengapa, rasanya aku ingin mengirimkan pesan singkat lewat obrolan facebook pada ia yang jauh di sana. Aku merutuki diriku sendiri ketika pesan ramah yang ku kirimkan dibalas dengan keangkuhan. Betapa bodohnya aku, ku kira ia berubah begitu saja? Mana mungkin? Menyebalkan.
September 2012.
Hari itu ku lakukan rutinitasku di sekolah seperti biasa. Tak terasa kini aku lah yang paling senior di sekolah. Ya, kelas IX. Alangkah bangganya menjadi Kakak yang tertua yang katanya bisa bertindak semaunya. Tapi aku enggan berkomentar. Yang paling penting adalah tak ada yang mencari masalah denganku maka hidupnya akan aman. Aku tak akan berulah tanpa diganggu terlebih dahulu. Itulah motto hidupku.
Semua orang di kelas ini adalah wajah baru bagiku. Bagaimana tidak, tiap tahun sekolah melakukan pengacakan yang katanya ditujukan agar saling mengenal. Beberapa minggu kami lewati menjadi bagian dari kelas tercinta ini. RESPECT. Begitulah sebutan kelas ini. Jumlahnya tak banyak, hanya 35 siswa. Itu karena beberapa kali ada perubahan siswa yang dipindah ke kelas lainnya. Hingga suatu ketika, wali kelas IX-F datang bersama seorang murid baru yang awalnya membuatku sedikit terkejut. Dia, kembali. Yang selama ini ku benci perlahan aku harus menerima kehadirannya di kelas ini. Mau bagaimana lagi, aku yang kini menjabat sebagai ketua kelas harus bisa bijaksana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR NANTA [END]
Short StoryKalau memang bibirku tak sanggup berbicara Izinkan ku ungkapkan lewat gores tinta Kalau jemari ku tak sanggup menyentuhnya Biarkan do'a selalu menyapa