Tiga

93 5 14
                                    

Tik
.
Tik
.

Jam dinding itu terus berdetak tanda waktu tak mungkin membeku.

Hari ini, hari Kamis.

Esok, hari Jumat.

Dan sore harinya, audisi itu dimulai.

Setelah cukup lama berunding dengan hati dan pikiran, akhirnya aku memilih untuk menjadi bagian dari audisi itu.

Jadi intinya, apa besok aku akan menjadi salah satu manusia yang akan dipanggil-naik ke panggung-dan bernyanyi?

Jawabannya,

Belum tentu.

Karena hingga saat ini hal yang berhasil kulakukan hanya berbicara dengan diri sendiri hanya untuk memilih antara "iya atau tidak".

Dan seakan hal itu belum terlalu memusingkan, hal-hal lain seperti harus daftar-mendaftar, mencari lagu yang akan dinyanyikan dan menghilangkan demam panggung yang melekat pada jiwa dan ragaku sejak terlahir di dunia yang kini ku akui memang kejam ini berbaris rapi dalam satu kesatuan.

yakni

"Kewajiban yang patut kutuntaskan tidak lebih dari 24 jam."

Lalu.

"Tingtingting. It's time to go home. But, it doesn't mean we can stop study. Always remember okay! Study more, play less, or you can just do both at the same time. Tingtingting."

Alunan bel yang amat bijaksana itupun membuyarkan lamunanku dan juga memecah keheningan pelajaran sejarah yang terdengar seperti dongeng sebelum tidur.

Aku memasukkan buku-kertas-tempatpensil-besertaisinya dari kolong-atasmeja-lantai ke dalam tas.

Setelah menyelesaikan rutinitas beres-beres sepulang sekolah itu, kuangkat kepala yang sedari tadi menunduk dan mendapati Vero di kursi paling belakang tengah sibuk dengan kertas-kertas yang berserakan di mejanya.

Lalu, dengan amatsangat bodohnya aku masih berdiam diri di tempatku tanpa menghampirinya.

Satu menit.

Tiga menit.

Enam menit.

Sepuluh menit.

Vero berdiri. Merapihkan kertas-kertas itu dan membawanya dengan sebelah tangan. Dirinya beranjak dari tempatnya bersamaan dengan terdengarnya suara derak kursi yang bergeser.

Langkah kaki Vero kini terlihat seperti adegan slow motion yang biasa kutemukan di film horror(dan itu adalah adegan dimana aku akan menutup wajahku dengan kedua tangan sambil memasukkan jempolku ke kedua lubang telinga dan mengintip dari sela-sela jari)

Seiring dengan memendeknya jarak kami, sesuatu di dadaku terasa melompat-lompat.

Dan.

"Mmm.. Ver?" Sebuah keajaiban itu datang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah masa putih abu-abu ku, hal ini terjadi. Mata kami bertemu untuk berinteraksi.

Ia hanya menoleh dengan tatapan tajamnya seakan mengajakku bertelepati.

Jarak yang hanya sejauh dua jengkal embuat aroma maskulinnya menusuk indra penciumanku. Aku mencoba mengatur detak jantungku yang beraksi lima kali lipat dari biasanya. 

"Gue mau ikut audisi." Ucapku sambil memberanikan diri untuk tetap menatap mata coklatnya.

Bukannya menjawab, aku malah mendengar desahan keluar dari bibirnya.

"Lo nggak lahir di zaman purba kan?"

"Hah?"

"Line Rasya aja." Lalu ia pergi dengan langkah yang tampak dipercepat meninggalkan diriku.

Huh. Aku tahu aku harus melakukan itu. Bahkan sebelumnya aku tak ada niat untuk memanggilnya.

Tapi, aku hanya sedang mecoba metode yang disebut berharap itu.

Namun.

Sepertinya harapan itu terlalu terbang tinggi.

*

Sesampai di rumah, aku langsung melangkah ke dapur. Matahari yang sangat terik membuat  lemari pendingin menjadi prioritas utamaku saat ini.

Terdengar suara berbahasa asing dari arah ruang keluarga. Tanpa harus melihatnya, aku tahu bahwa itu adalah drama korea yang bunda gandrungi.

Aku membawa segelas jus jambu dan duduk di sebah bunda yang tampak sangat menghayati layaknya ia saat sholat fardu.

Di layar televisi kini terpampang jelas salah satu dari drama korea yang bunda gandrungi.

Ia kini menonton-ulang drama yang berjudul "dream high" , entah apa gunanya melototi manusia-manusia itu bersandiwara dengan sudah mengetahui akhir ceritanya.

Namun, walaupun aku bukan pengagum karya seni yang berupa kisah fiksi yang tak akan menjadi realiata itu, aku memilih untuk turut menikmatinya sebagai penghibur diri.

Kini layar televisi di depan mataku menampilkan seorang gadis yang kuketahui bernama Ko Hye Mi itu akan menyanyikan sebuah lagu. Di detik-detik ia akan bernyanyi, tiba-tiba ia mengubah pilihan lagunya menjadi selamat ulang tahun dalam bahasa asing yang sudah lumayan akrab dengan telingaku.

Dalam sekejap, lagu yang tergolong sederhana itu mampu menyita seluruh perhatian orang-orang di sekitarnya. Tak heran mereka seperti itu. Gadis itu menyanyikannya dengan sangat merdu dan menghayati.

Lalu, diantara para penonton, ada seseorang yang paling disorot. Ia duduk sambil terus tersenyum dan tertawa kecil tanpa melepas tatapannya pada gadis yang tengah menjadi perhatian umum. Ia dan gadis itu saling pandang-memandang layaknya sudah mengerti akan segala hal yang berkecamuk dalam pikiran masing-masing tanpa perlu mengutarakannya.

Dan.

Dapat tersimpulkan bahwa lagu itu untuknya. Karena nyatanya, sebuah lagu akan terdengar amat indah bila dinyanyikan dengan tulus untuk seseorang.

Kemudian.

Aku langsung beranjak pergi menuju goaku. Karena ada suatu hal yang harus kutemukan. 


Aku harus menemukan,


sebuah lagu untuk Vero.




MAAF YA ATAS KE-AMATIR-AN SEORANG DILA INI. SEMOGA TULISAN AKU KEDEPANNYA BISA MENINGKAT YA GAK KACAU BALAU KAYAK GINI.

DAN TERKHUSUS UNTUK MY TIDUE, MAAFKAN AKU AKAN BEBERAPA BULAN MENGHILANGNYA OUR VERO INI YAA! I MISS YOU SO MUCH MY TIDUE<3

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang