Prolog

38 3 2
                                    

PROLOG

Kau yakin akan hal itu. Kau mengatakan sesuatu akan terjadi padaku. Kau juga menyarankan aku harus berubah. Maka, aku akan berubah demi dirimu.

Namun, lihatlah. Aku telah berubah, namun malah memperburuk keadaan. Semua sia-sia. Kau menghilang. Lantas siapa aku sekarang ?

.....

Tidak seharusnya.... (italic)

Alarm ponselku berdering pada pukul 02:17, menandakan bahwa aku seharusnya sudah tertidur sebelum tengah malam, kemudian bangun pada pukul ini.
Namun, lagi dan lagi. Penyakit Insomnia ini tidak kunjung sembuh. Temanku sudah menyarankan untuk pergi ke dokter, tapi tetap tidak bisa disembuhkan.

"Hah.. Aku lelah meminum ini setiap hari." batinku sembari menatap dua butir kapsul ditangan.

.....

Ponselku mengeluarkan tangga nada ceria pada pukul 07.17. Dengan malas, aku segera meraihnya.

"Apakah hari ini akan berbeda ?." Aku bertanya dalam hati.

Aku melangkah ke kamar mandi dan memastikan bahwa airnya hangat. Setelah berganti pakaian dan bersiap menuju tempat kuliah, terngiang dalam pikiranku untuk menata rambut sebentar. Aku menatap sesosok perempuan yang tidak terlalu tinggi berdiri di bagian maya kaca oval panjang. Dengan rambut hitam panjang yang dibiarkan terurai.

"Pantas saja mereka menyebutku Victor si 'Aneh', lihat saja diriku. Sungguh mengerikan, seperti pemabuk yang tidak tidur selama dua abad lamanya." Aku memandang diriku sendiri dari puncak kepala sampai kaki.

Aku segera menyambar ransel, ponsel, dan sepatu. Melangkah dengan gusar, namun berusaha untuk tetap terlihat ceria.

"Selamat pagi, Victor" sapa seorang tukang pos yang kebetulan melewati rumahku.

"Ya, selamat pagi" balasku.

Entah sejak kapan aku menyukai tetangga dan orang sekitarku, mereka sangat baik. Setiap harinya, -terutama pada hari-hari biasa- aku selalu berharap melihat mereka tersenyum ketika menyapaku. Rasanya seperti langkahku semakin ringan untuk pergi kuliah.

Kegiatan belajar seperti biasa akan dimulai pukul 9, namun hari ini terkesan seperti hari yang paling spesial dalam hidupku. Padahal, jika dipikir-pikir setiap kali aku melewati lorong kelas, beberapa teman kelasku -terutama Saphire- selalu menatapku dengan tatapan jijik. Ayolah, salahku apa pada mereka, dasar aneh.

Aku sampai di lorong 4, lantas memutar tombol hitam dengan kode angka di bagian pinggirnya. Menaruh ransel, mengambil buku dan alat tulis. Aku masih heran mengapa hari ini terlihat berbeda dari hari sebelumnya. Aku berjalan menuju kelas di sudut lorong yang terkesan suram, dengan lampu remang -kurasa sebentar lagi akan padam-, dan hanya sedikit cahaya matahari yang masuk.

"Lebih mirip gudang dibandingkan kelas" gumamku.

Bruk.

"Hei! Apa-apaan ini ?! Buka pintunya!" teriakku dari luar kelas.

"Ups, aku lupa" ucap Saphire, perempuan yang terkenal akan sifatnya. Tidak heran bila semua orang mengenalnya sebagai 'pembuat onar'.

Saat bel berbunyi, beberapa teman kelasku memaki-maki Saphire -tentu karena perbuatannya-. Namun tindakan pemakian itu terhenti saat Mr. Houston memasuki kelas. Mr. Houston selalu tampil dengan dasi kupu-kupu hitam yang melingkari lehernya, dan setelan jas berwarna abu-abu. Namun, tidak untuk hari ini. Kini ia mengenakan kaus dan jaket, disertai celana levis hitam dan sepatu converse. Yang terpenting adalah rambutnya dibiarkan berantakan.

Semua perempuan dikelasku, termasuk Saphire, melihatnya tanpa mengerjapkan mata sedikit pun. Pengecualian untukku, memang mengesankan sekaligus cukup keren saat dia tiba-tiba mengubah style nya (italic) seperti itu. Namun disela-sela jam pelajarannya, Mental Disorder (italic), kerap kali aku mendapati Mr. Houston terlihat gelisah dan cemas.

Ketika aku sibuk mengamatinya, tiba-tiba pandangannya tertuju padaku. Dengan cepat aku melihat langit kelas -berpura-pura sedang berpikir-. Ia bangkit dari duduknya, kemudian berjalan menuju kursiku. Sangat bodoh, karena memilih kursi di bagian nomor dua dari depan -terutama di pinggir-.

"Apa ada masalah, Victor ?" tanyanya.

"Ya. Aku berpikir bahwa, bukankah Fugue itu adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu mengingat beberapa atau semua hal pada masa lalu, atau bahkan identitasnya sendiri ?" tidak ada salahnya berbohong, hanya kali ini.

"Ya, betul sekali. Memangnya materi apa yang akan kau ajukan untuk akhir semester minggu ini ?" ia menatapku dengan terkejut.

"Entahlah, belum terpikirkan. Namun aku sudah memilih beberapa" ucapku, ini tentu saja fakta.

"Baiklah. Kalian semua, aku peringatkan agar segera memilih dan membuat materi yang akan diajukan. Dan aku tidak akan mentolerir bagi yang terlambat"

Mendengar pernyataannya barusan membuat bulu kudukku meremang. Beberapa detik lalu ia terlihat cemas, kemudian ceria, dan sekarang menyeramkan.

Kelas usai pada pukul 1 siang, dan biasanya aku lekas pulang ke rumah. Tapi tidak kali ini, hari ini begitu spesial. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke taman di dekat St.Lambert. Anehnya, tidak ada anak kecil yang biasanya bermain disini. Kemudian penjual es krim yang selalu marah ketika persediaan es krimnya habis.

Namun, kudapati seorang laki-laki tengah sibuk bermain basket sendirian. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, hanya memastikan bahwa aku sendirian. Sehingga tidak akan ada rumor menyebalkan, seperti "Si 'Aneh' dengan kekasih barunya" atau yang lainnya. Aku memang tidak peduli, tapi jika terus berlanjut hal itu dapat mengusik hidupku.

"Maaf, siapa namamu ?" tanyaku dengan hati-hati.

"Grissham. Grissham Shamus" ia masih sibuk dengan bola basketnya.

Aku melihat papan skor yang secara otomatis mengeluarkan angka, tepat disebelah tiang keranjang basket.

"Ia sangat mahir" gumamku dalam hati.

"Kau ? Siapa namamu ?" tanyanya, kali ini ia berhenti bermain dan meraih botol minumannya.

"Victor Fergusson" ucapku.

"Baiklah, Victor. Apa kau tidak keberatan jika aku meminta minumanmu ?" tanyanya.

"Tentu saja tidak. Ini, silahkan"

Aku bisa mendengar suara 'glek' saat ia menenggak minuman. Postur tubuhnya tegap, sedikit berotot, dan tentunya cukup tampan. Aku tidak memperhatikan bahwa sedari tadi ia bertanya padaku.

"Apa kau tinggal di dekat sini ?" tanyanya.

"Tidak juga, aku tinggal beberapa meter dari sini" jelasku sembari menendang batu kerikil -menyembunyikan rona pipiku-.

"Baiklah, aku ingin pulang sekarang. Apa kau ingin kuantarkan ?" tanyanya.

"Tidak usah, aku bisa naik bus" ucapku.

Sejujurnya aku cukup malas untuk pergi ke halte bus. Namun itu lebih baik daripada merepoti orang lain.

"Begini saja, lain kali aku akan mengantarmu pulang. Dengan begitu kita bisa saling mengenal" tuturnya.

"Baiklah" ucapku singkat.

.....

Shamus. Nama itu terus terngiang di kepalaku. Sekilas terdengar asing, tapi aku pernah mendengarnya. Mungkin Saphire pernah menyebutkan bahwa kekasihnya juga bernama Shamus. Ya, mungkin saja.

Silent Sound From The DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang