Chapter 2
Alarm ponselku kembali berbunyi pada pukul dua tujuh belas menit. Saat aku terbangun, tiba-tiba saja aku ingin melihat diriku sendiri melalui cermin. Aku menatap lamat-lamat cermin itu, kemudian mendapati sedikit perubahan atau bisa dikatakan sebagai sebuah kemajuan.
Aku melihat wajahku sedikit lebih bercahaya, meskipun hal itu hanya terlihat saat aku mengembangkan senyum. Tapi setidaknya aku tidak..., “Astaga!”. Aku terkejut karena aku baru sadar bahwa kemarin aku tidak meminum satu pun kapsul obat.
“Apa mungkin—“, sebelum aku berkeinginan untuk menghampiri kotak berisi obat-obatan. Tiba-tiba saja aku mendengar suara decitan yang berasal dari balkon. Tubuhku seketika membeku, aku merasakan ada seseorang yang datang, dan ia tengah berdiri dibalik pintu balkon. Aku menghapus jauh-jauh semua pikiran negatif dan memberanikan diri untuk membuka pintu balkon.
Sebelum memutar kenopnya, aku meraih sebuah tongkat besi yang dulunya merupakan salah satu jeruji pagar. Terdengar bunyi klik saat aku memutar kenop. Segera setelah pintu ku buka dengan kasar, aku menggenggam tongkat besi itu dengan kuat kemudian memukul ke segala arah tanpa melihat. Anehnya saat aku membuka mata, aku tidak melihat satu pun orang disana. “Jadi sedari tadi aku hanya memukul udara kosong? Ayolah, sudah kuduga ini hanyalah imajinasiku saja,” gerutuku. Ya, hanya imajinasiku saja.
Aku melirik jam dinding berbentuk lingkaran yang tengah ber-tik tok dengan ria. Lagi-lagi aku baru sadar bahwa selama ini aku mempunyai jam dinding. Apa aku lupa dengan semua perabotan dirumah ini? Mungkin saja. Pikiranku sudah menyuruhku untuk beristirahat, namun mataku sama sekali tidak lelah atau sebaliknya.
Setelah dipikir-pikir, temanku pernah berkata, “Apabila seseorang mengalami kesulitan dalam tidur, hendaknya mencoba untuk menghitung domba, membaca novel, mendengarkan lagu instrumen, atau mematikan lampu kamar.” Jujur saja, aku jarang sekali mematikan lampu kamar karena aku tidak suka kegelapan.
Awalnya aku memutuskan untuk mencoba cara pertama, yaitu menghitung domba. Dan caranya sangat ampuh! Aku berhasil tertidur pada saat hitungan ke tujuh belas. Sepertinya aku baru saja bertemu dengan bagian awal mimpiku, namun mataku tiba-tiba tertuju pada pintu kamar yang terbuka. Aku mengingat-ingat apakah aku belum menutup pintu, tapi aku selalu menutup pintu kamar jika ingin tidur. Malam ini mataku akan terus berjaga, pikiranku akan terus menyelidiki apapun itu. Hingga akhirnya mereka kelelahan, dan aku pun tertidur.Aku membuka mataku dengan perlahan dan mendapati sinar matahari menyeruak masuk dari balik jendela. Hari ini adalah hari Senin, namun entah mengapa aku sedang tidak ingin pergi ke tempat kuliah. Sungguh melelahkan disaat kau berusaha untuk tidur, sedangkan pikiranmu berlalu-lalang memikirkan hal-hal aneh. Aku melirik ponselku kemudian mendapati sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal.
“Delete,” gumamku, lalu melemparnya ke kasur.
Karena minggu ini adalah minggu terakhir, jadi kemungkinan hanya beberapa mahasiswa yang datang. Setelah berganti pakaian, aku membuatkan segelas kopi hangat untuk diriku sendiri dan berjalan menuju ruang keluarga. Saat aku sedang asik menyeruput kopi, aku melirik sebuah kertas yang dibiarkan tergeletak di atas karpet hitam milik ibu. Itu kartu nama! Aku meraihnya, kemudian hanya melihat sebuah tanda silang berwarna merah pada bagian sudut kartu itu. Diriku mengatakan bahwa kartu nama ini tidak sengaja terjatuh ketika teman-temanku kesini semalam. Mungkin saja. Aku segera mengambil jaketku dan pergi menuju rumah Irene.
Aku sibuk memandangi jalanan aspal yang kuinjak, sampai akhirnya aku mendapati Irene tengah bermain disalah satu ayunan di taman—taman yang sama ketika aku bertemu Grissham—. “Irene, disana kau rupanya. Aku mengunjungi rumahmu, namun bibimu mengatakan bahwa kau sedang keluar. Jadi—“, belum selesai aku berbicara Irene sudah memotongnya. “Kau terlihat berbeda,” ucapnya. “Berbeda? Apa maksudmu?” tanyaku. Ia bangkit, “Kau tidak lihat apa ini! Ini namamu, kan?” Irene menunjukkan lengannya yang terlihat pucat, tapi selain itu ada sebuah guratan merah yang menggores kulit Irene.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Sound From The Darkness
Mystery / ThrillerAku percaya kepada setiap orang. Meskipun aku tak mengenalnya lebih jelas. Tapi satu per satu, mereka ragu karena satu alasan. "Siapa yang kau percaya Miss Victor Fergusson?" "Tidak ada satu pun." "Kau yakin? Bagaimana denganku, apakah kau percaya d...