Prolog

32 3 0
                                    

Gerbang istana mulai nampak. Sang putri mengendap-endap, menuju pintu masuk yang dibuatnya sendiri. Dia bisa saja meminta penjaga gerbang membukakan pintu untuknya. Namun, bukan itu masalahnya.

Sang musuh telah mengetahui pelariannya dan sangat marah akan hal itu. Seisi istana telah ditawannya. Sehingga, sang putri menyamar. Agar tak seorangpun mengenalinya. Terkecuali, teman seperjuangannya. Di padang rumput, ia berdiri. Di matanya, tak tersirat sedikitpun rasa takut.

Ia tahu, ia siap, ia berani. Rasa takut itu telah ia pendam. Pendam di dalam lubuk hatinya. Memang, tangannya masih suci. Belum berlumurkan darah orang lain.

Di padang rumput, ia mencoba mengingat letak pintu masuk rahasia. Sedangkan, ketiga kawan lainnya tersembunyi keberadaannya. Namun, mereka berada di sekitar sang putri.

Kedua tangan sang putri berada di samping tubuhnya. Matanya yang jernih, menatap lurus. Bagian rok dari gaun merahnya sedikit terangkat terkena angin. Rambut cokelat yang warnanya sama seperti matanya, terurai sempurna. Panjangnya melebihi punggungnya, sepergelangan tangannya. Bolero hitamnya dengan rapi melekat di dadanya, dengan 3 biji kancing hitam terjahit rapi di sisi kiri. Rambutnya melayang-layang dengan sempurna, ditiup angin sepoi-sepoi. Tekadnya membulat. Ia memejamkan mata. Merasakan angin berdesir. Rerumputan berbunyi.

Ketemu. Sang putri sulung segera bergerak. Bagi angin, cepat namun tak bersuara. Dari tempatnya semula—yang tepat berada di tengah-tengah padang rumput yang kecil itu. Sebuah padang rumput kecil, tempat perbatasan antara istana satu-satunya di Bulan Biru dan hutan Anubis. Tempat di mana sang putri seringkali bermain-main dengan adiknya, saat mereka masih kecil.

Demi keluarganya. Demi istana. Demi rakyat. Demi leluhur. Demi kehidupan. Demi Bulan Biru. Demi adiknya. Demi
sahabatnya. Demi para pejuang dari Bumi. Dan tentu, demi dirinya sendiri. Juga demi masa depan. Oleh dirinya sendiri.

Bulan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang