Malam itu, aku melihat melalui teleskop. Biru. Indah sekali. Purnama kedua dalam satu bulan yang sama. Suatu kejadian yang jarang. "Teng-ting-tong," jam dalam kamarku berbunyi. Aku terlonjak. Kulihat jam bandul tua peninggalan leluhur. Pukul 21.00. Seekor burung hantu melewati jendelaku yang terbuka, pergi menuju kepekatan malam.
Kuselesaikan lukisanku agar sempurna. Aku meninggalkan teleskop beratku. Kuhampiri meja tempat kuletakkan peralatan lukisku dan kanvasku yang sudah hampir selesai. Sebuah bulan biru bersinar memancarkan cahayanya yang mistis. Seorang gadis—bersiluet—menggunakan sebuah gaun, mengarahkan teleskopnya—yang juga siluet—ke langit malam yang keunguan. Dan tentunya, langit malam keunguan itu bertaburkan bintang-bintang yang membentuk gugusan bintang. Bulan biru yang mistis.
Itulah lukisanku. Aku membersihkan serta meringkas peralatan lukisku dan kujajarkan di atas koran agar kering sehingga besok pagi bisa kubawa ke sekolah.
Ponselku tiba-tiba bergetar. Ada pesan masuk dari Imel yang mengingatkanku agar tak lupa membawa lukisanku ini. Yah... Memang aku ini termasuk orang yang ceroboh, jadi gak heran kalau salah seorang teman dekat di kelasku ini mengirimku pesan seperti itu. Aku bergegas menata isi tasku dengan memasukkan buku-buku pelajaran untuk esok hari. Tak lupa kumasukkan sketchbook A4 dan pensil warna.
Kulirik jam, sudah berjalan 30 menit. Segera kuringkas teleskopku. Kemudian aku bersiap-siap tidur. Tak lupa, mengecek jam wekerku.
#
Aku berjalan, melayang di angkasa. Tiba-tiba, aku telah sampai di Bulan Biru, menembus atmosfernya. Biru semua. Aku hanya bisa terpana memandangnya. Melayang-layang sekitar setengah meter di atas permukaan air yang sangat bening yang sangat luas. Sepertinya sebuah lautan atau bahkan samudra. Rasanya seperti berada di atas kaca raksasa, karena permukaan air ini memantulkan apa saja yang ada di atasnya.
Kemudian aku menunduk, melihat bayanganku melayang. Tapi tunggu, dari permukaan air, kulihat ada sesosok bayangan lain juga melayang, mendekatiku. Perlahan, aku mendongak. Sesosok gadis dengan rambut berwarna dark ash blonde yang sangat panjang, diikat twintail. Agak bergelombang, rambut gadis itu melayang-layang di sekitarnya. Ia memakai gaun biru muda selutut tanpa lengan, berkibar.
Dengan agak takut, kuberanikan diri menatap wajahnya. Warna iris matanya senada dengan rambutnya, sejernih permukaan air. Ia menatapku, dengan tatapan yang sulit kujelaskan dengan kata-kata. Seperti.... berambisi, menginginkanku, seakan siap untuk memangsaku. Ah bukan, lebih tepatnya menginginkan sesuatu dari diriku.
Jarak kami berdua semakin dekat, dan kini ia berada tepat di depanku. Perlahan, ia mengangkat tangan kanannya, seakan ingin meraihku, menggapaiku. Aku membelalak, entah mengapa merasa ketakutan, berusaha menjauh.
"Tak ada gunanya kau menjauh. Kau bahkan sama sekali tak mengenali tempat ini," tiba-tiba gadis itu berbicara. "Bantu aku, Dhy". Suaranya seringan bulu, setajam silet, dan aku merasakan suaranya berada di dekatku. Insting dan naluriku secara serempak untuk menoleh. Dan ia tepat berada di belakangku, melayang.
#
Aku terbangun dengan keringat dingin. Wajahku memucat, seputih kapas. Jantungku berdetak begitu cepat. Untuk menenangkan diri, aku menuju dapur. Pukul berapa sekarang? Jam digital dapur berkedip. 04:40. Aku membuat segelas susu cokelat hangat.
Asap mengepul-ngepul dari gelasku. Aku menyeduhnya, lalu menambahkan sedikit susu sapi segar ke dalamnya. Lalu, kuseduh lagi. Aku dengan buas langsung menenggaknya. Sensasi hangat menyebar di perutku. Kemudian, kukembalikan susu segar itu ke dalam kulkas dan menuju wastafel, mencuci gelas. Air dingin membuat ujung jariku ngilu.
"Bantu aku, Dhy," terdengar samar-samar bisikan dari kejauhan. Aku merinding. Apakah gadis itu? Suaranya sangat mirip seperti yang ada di dalam mimpi. Apakah ia nyata? Kalau memang nyata, siapakah gadis ini? Aku menoleh ke belakang. Suara itu menghilang. Kurasa hanya imajinasiku saja, yang masih terngiang dengan mimpi yang baru saja kualami. Jantungku masih saja berdebar-debar. Aku mulai mengatur napas.
#
"Imel!," panggilku. Aku menapakkan kaki di gerbang sekolah. Imel belum juga menoleh. Aku menghampirinya lalu mencolek pundaknya. "Eh, Adhy," kata Imel. Lalu ia melirik lukisanku. "Liat, dong," ujarnya sambil langsung mengambil lukisanku. "Wow," Imel terkagum-kagum,"keren banget!". Dan Imel hanya kutanggapi dengan tawa.
"Kak Adhyasta!!," tiba-tiba ada seruan dari belakang. Saat kutoleh, ternyata salah seorang adik kelasku, Aira. "Minum kakak terjatuh," ujarnya sembari menyodorkan botol minumku. "Ah, iya, terimakasih ya...," kuambil botol itu dan membalikkan badan menuju kelas bersama Imel.
#
Aku merebahkan badanku di atas kasur. Seharian ini, sesuatu menggangguku hari ini. Gadis misterius itu. Bulan biru itu....."Bantu aku, Dhy," suara gadis itu masih saja terngiang-ngiang dalam benakku. Aku tak bisa menyingkirkannya. Bantu? Apa yang harus kubantu? Dari mana ia bisa mengenalku? Bahkan aku tak mengenali gadis itu sama sekali....
Jam berdentang sepuluh kali. Pukul sepuluh malam. Kuputuskan untuk mengakhiri hari ini. Membenarkan posisiku, kupejamkan kedua mataku. Terlelap.
#
Aku kembali melayang di atas lautan luas, sama seperti kemarin. Aku mencoba melihat ke sekeliling. Apakah gadis itu akan muncul kembali? Sebenarnya.... Ini di mana? "Kau bahkan sama sekali tak mengenali tempat ini," kalimat gadis itu seperti tidak bisa pergi dari ingatanku.
Angin berhembus pelan dari belakang tubuhku. "Dhy....," suara gadis itu. Aku menoleh ke kanan. Ia melayang masih sangat jauh, sekitar lima meter jauhnya namun suaranya terasa seperti ia berada di sampingku. Bagamana bisa?
Aku menatapnya, lama. Berusaha menggali memori, siapa tahu sebelumnya aku pernah bertemu dengannya. Namun nihil. Aku belum pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya hingga.... Hingga kemarin malam.
"Kamu... siapa?," tanyaku. Gadis itu tersenyum tipis. "Ini di mana? Dan mengapa kau tahu namaku? Apa yang kau inginkan dariku?," lanjutku.
"Kau ini ternyata cerewet, ya....," jawabnya. Perlahan namun pasti, ia makin mendekat. Lalu, gadis itu berbisik, sangat lirih tepat di sebelah telingaku,"Ardhyasta.... Mungkin kau tak mengenalku, namun aku ingin meminta pertolonganmu..... Maukah kau....."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan Biru
FantasyKehidupan Aira yang sangat aneh--menurutnya--terusik. Ia yang mengagumi segalanya yang ia sukai, kini dimintai tolong untuk menyelamatkan sebuah keluarga, istana, rakyat, bahkan planet. Planet Bulan Biru. Sebuah planet yang keberadaannya tersembunyi...