Sepanjang hari bersama Maya membuat Al banyak mengerti tentang kebiasaan sang bunda yang selama ini dia tak ketahui. Kebiasaan sang bunda yang setiap pagi membeli bunga sebelum berangkat ke kantor pun, baru Al ketahui hari ini. Al tersenyum ketika melihat wajah Maya terlihat lelah karena seharian bekerja keras untuk menjalankan bisnisnya. Al berdiri dari tempat duduknya, lalu menghampiri Maya.
"Bunda lelah?" tanya Al memeluk Maya dari belakang.
Maya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan mengelus lembut lengan Al yang melingkar di lehernya.
"Kata lelah enggak berarti buat Bunda, yang terpenting kamu, El, dan Dul dapat tercukupi semua kebutuhan kalian," kata Maya mengelus lembut pipi Al.
Hati Al terenyuh mendengar ucapan tulus sang bunda. Ingin rasanya dia selalu membuat sang bunda tersenyum dan menaruh semua beban di bahunya. Al mengeratkan pelukan dan menyandarkan kepalanya di bahu kanan Maya.
"Maafkan Al, ya, Bun. Al belum bisa menjadi anak yang baik dan Al belum bisa jadi contoh kakak yang baik juga untuk El dan Dul," ucap Al merasa bersalah karena merasa selama ini belum memberikan sesuatu yang dapat membuat Maya bangga kepadanya.
Maya tersenyum dan hatinya bergetar lirih. Dielusnya rambut Al lembut, lalu Maya berkata, "Orang yang mengeluh tentang kehidupan, adalah orang yang gagal. Jangan pesimis dan jangan menghakimi diri sendiri. Kamu butuh waktu untuk menjalankan prosesnya. Ini adalah langkahmu menapaki proses menuju kesuksesan. Lakukan satu hal yang membuat Bunda bangga kepadamu. Bunda enggak meminta yang aneh-aneh, cukup jadilah anak yang jujur, bertanggung jawab, dan berani berkorban."
Al semakin bangga memiliki bunda seperti Maya. Tak pernah Maya menuntut banyak hal kepada ketiga jagoannya. Dia selalu menyerahkan semua keputusan dan jalan karier di tangan mereka. Maya menyadari, peranan orang tua hanyalah sebagai pendukung dan pelindung. Dia hanya wajib mengarahkan dan menjaga buah hatinya agar selalu berjalan di jalan yang benar.
"Makasih atas pengertian Bunda," ucap Al parau menahan tangisan harunya.
"Sama-sama. Bunda lelah, apakah kita bisa pulang?" ajak Maya menegakkan tubuh Al.
Al teringat sesuatu yang sudah dia siapkan bersama kedua adiknya.
"Eh, iya, Bun, sebelum pulang kita mmm ... kita ... mmm." Al bingung untuk mencari alasan agar Maya tak langsung mengajaknya pulang sore ini.
Maya dengan sabar menunggu ajakan Al seraya dia membereskan meja kerjanya. Al masih berpikir, akan ke mana dia membawa Maya sementara waktu hingga menunggu El ataupun Dul menghubunginya.
"Kita apa?" ujar Maya yang sudah penasaran dengan kalimat selanjutnya dari putra sulungnya itu.
"Mmm ... kita jalan-jalan berdua dulu aja, Bun. Udah lama Al enggak cerita sama Bunda. Al mau banyak cerita sama Bunda," ujar Al penuh alasan agar Maya mau ikut bersamanya.
"Baiklah, kalau begitu, mau kamu ajak ke mana Bunda sore ini, biar kita leluasa untuk mengobrol," tanya Maya setelah dia membereskan meja kerjanya dan siap mengenakan blazer.
"Ada deh, Bun, ikut Al dulu deh, entar pasti Bunda suka," kata Al percaya diri membuat Maya tertawa lepas.
"Ooooh, sekarang kalau ngajak Bunda kencan, perlu menyembunyikan tempatnya, ya?" tukas Maya bercanda seraya menjinjing tas kerjanya.
Al hanya menyengir memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Maya menggandeng lengan Al, dengan senang hati Al menyambutnya dan mereka pun berjalan beriringan keluar dari ruang kerja Maya. Saat mereka sedang berjalan bergandengan tangan, banyak orang memandang dengan penuh arti. Namun, Al bersikap tak acuh dan tetap stay cool. Dia tak memedulikan ribuan arti tatapan para pegawai yang mereka lalui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Disc Jockey (KOMPLIT)
Non-FictionAl, pemuda yang berbakat sebagai DJ profesional, dia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Lyana, tetapi di waktu yang bersamaan Al masih punya kekasih, Lisa. Lantas bagaimana dia menyikapi perasaan cintanya kepada Lyana?