lima

392 9 1
                                    

"Dua tahun berlalu, dengan pengalaman mengasuh enam adiknya selama ini, setidaknya Sie cukup tangguh. Wong Lan juga belum menyakiti Sie secara fisik, orang-orang di rumah meski tidak respek, tidak berani menunjukkan rasa benci secara terbuka.

Dua tahun itu, Sie menyibukkan diri, belajar menjadi istri yang baik, melakukan apa saja yang bisa dia kerjakan, melayani suami sebaik mungkin, menyiapkan baju, memasangkan dasi, menyemir sepatu, berlarian membawa tas kerja, menyiapkan makanan, merapikan tempat tidur. Memasang wajah riang, tidak peduli meski Wong Lan melempar piring, mencaci masakannya, tidak peduli walau Wong Lan merenggut dasi yang dipasangkan, menginjak tangannya saat melepas sepatu.

Sie sudah berjanji pada Ibu, dia akan mencintai suaminya apa-adanya.

"Nah, bicara tentang Ibu, persis di penghujung tahun kedua, sepucuk telegram terkirim dari Singkawang, isinya pendek: Tadi malam kma senin kma tanggal dua satu bulan lima kma pukul delapan ttk tiga puluh kma Ibu meninggal di RSU ttk tidak perlu dicemaskan kma Ibu akan segera dikebumikan esok pagi kma peluk sayang dari adik adikmu ttk hbs.

"Kelu bibir Sie Sie membaca telegram itu. Uang memang berhasil memperpanjang usia, tapi takdir tidak pernah terkalahkan. Sie ingin pulang ke Singkawang, setidaknya melihat pusara merah Ibunya. Sie rindu adik-adiknya. Sie juga rindu memeluk Bapaknya. Apalah yang bisa dia lakukan? Di rumah besar itu, sepeser uang pun dia tidak pegang, paspor, surat-menyurat terkunci rapat di lemari besi Wong Lan. Apakah dia akan menunjukkan telegram itu pada suaminya? Wong Lan tidak pernah peduli urusan Sie, ekspresi wajahnya selalu sama, menyingkir, urus saja diri kau sendiri.

"Situasi memburuk saat pernikahan memasuki tahun ketiga, bukan karena memang di tahun-tahun itu rasa bosan, masalah, salah-paham lazim muncul bagi kebanyakan pasangan, tapi karena pabrik tekstil kecil Wong Lan terkena imbas krisis harga minyak tahun 80-an, ekonomi Taiwan mengalami kemunduran. Dan situasi diperburuk dengan kenyataan Wong Lan tidak becus mengurus pabriknya.

Dia lebih suka keluyuran dibanding mengawasi pekerja, lebih suka berkumpul dengan teman-temannya dibanding kolega bisnis, lebih suka bersenang-senang dibanding memikirkan strategi dagang yang baik. Aliran uang mulai tersendat, hutang menumpuk, tabiat Wong Lan yang suka marah-marah dan memukul kambuh. Siapa lagi yang bisa dicaci dan dipukul seenak perutnya? Sie Sie.

"Usia gadis itu dua puluh ketika masa-masa siksaan fisik datang. Pagi ditampar, siang dijambak, malam ditendang. Dan situasi terus memburuk dari hari ke hari. Teman-teman dekat Wong Lan pergi, tak ada uang, tak ada kesenangan, semua menjauh darinya. Pekerja pabrik macam kartu remi dirobohkan, satu persatu berhenti, termasuk orang-orang kepercayaan orang tua Wong Lan dulu, pembantu di rumah, hanya soal waktu minta berhenti, tidak tahan dengan marah-marah sepanjang hari.

Hanya tersisa Sie Sie sebagai sansak, pelampiasan seluruh tabiat buruk suaminya sendiri. Siang-malam Sie tersiksa lahir-batin, macam di terowongan gelap tanpa titik terang. Bangun pagi hanya untuk menjemput hari menyedihkan berikutnya. Sementara pabrik tekstil Wong Lan mati segan hidup tak mau, mereka bertahan hidup dari sisa harta benda.

Kisah Cinta Sie SieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang