Sejauh ini, aku masih sendiri. Menatap mentari pagi dari kejauhan. Menyipit mata dalam perihnya sinar temaram. Bulan pun enggan muncul. Padahal cahaya putihnya masih berkelebat dalam ingatan. Saat tengah malam tadi, sepulang dinas dari rumah sakit ini. Mataku tak pernah lepas menatap rembulan setengah yang dengan setia mengikutiku dari balik kaca helm. Semilir angin malam semakin menambah syahdunya kepekatan alam. Dan kini, hanyalah butir-butir yang tersisa dalam ingatan.
Aku berjalan menyisir koridor rumah sakit. Membelah dengan kejam sengatan dingin sisa semalam. Tak terasa, langkah kakiku memberat. Ada kecemasan yang telah terekat.
Tak bisa tidak kulepaskan ingatan semalam. Apakah itu hanya kebetulan? Ataukah aku yang memikirkannya terlalu dalam?
Seperti biasa, aku dinas berdua dengan koasmate-ku, Waishi. Tak dapat tidak aku terlepas darinya. Bagaimana tidak? Bahkan untuk dinas sekalipun, kami harus selalu bersama. Setidaknya, kalau lagi bosan ada yang bisa kujitak kepalanya.
Hey, bosan? Sejak kapan ada kata-kata bosan dalam kamus kehidupan koas bedah bagiku?
Duduk-duduk manis yang membuatku bosan. Memperhatikan dari kejauhan. Belajar sambil menguap, uap yang melambung tinggi melanglang di udara. Sesekali berjalan, hanya untuk meregangkan otot-otot yang ringkih karena terlalu rigid. Lama-lama bisa jadi kaku, berjalan seperti robot. Oh, no!!!
Tapi memang, kehidupan di sini sangat sederhana. Begitupun pasiennya. Sederhana pula jumlahnya. Tidak sebejibun di Padang. Nyantai lah. Apalagi kebanyakan pasien yang datang ke IGD kebanyakan mengeluh sakit dalam. Alias penyakit dalam. Jarang yang datang dengan kasus berdarah-darah karena kecelakaan. Kalaupun ada, sesekali saja.
Hey, tak pernah lepas pikiranku dari semalam. Ketukan langkah kakinya yang berdetak dengan cepat. Menuruni tangga dengan cekatan. Tak ada apa-apa. Hanya sekedar ingin menyapa kami di IGD saja. Bagiku itu sudah cukup. Melepas kebosanan yang sekali lagi, tak dapat tidak kuungkapkan di sini.
"Aman, dek?"
Seperti biasa. Kata-kata itu terucap. Terlalu amat sering malah. Telingaku tak dapat tidak bergidik mendengar pertanyaannya. Yang selalu ingin memastikan bahwa kami baik-baik saja.
"Aman, bang," jawabku sekenanya.
Entah kenapa, setiap kali bertemu dengannya, hanya seutas senyum yang terlontar dari wajahnya. Senyum khasnya yang tidak pernah lepas menghiasi. Hanya itu.
Dia tak banyak bicara. Tapi dibalik itu semua, banyak hal yang ingin disampaikannya. Dari hati ke hati. Entahlah. Apakah itu hanya perasaanku saja, ataukah memang kenyataannya?
Kami dinas memang berdua. Tapi entah kenapa, dia selalu hadir dan melihat ke arahku. Sekalipun aku berusaha mengalihkan pandangan, seketika itu juga dia berhasil kembali menariknya. Dan aku tak bisa tidak, menolak kebaikannya. Ya, hanya padaku. Tidak pada yang lain.
"Dek, sudah makan dan solat?"
"Makan yang banyak ya."
Setiap hari selalu begitu. Tak pernah tidak dia memberikan perhatian lebih padaku. Padahal, aku tak mengharapkan apa-apa darinya.
Perasaan ini aneh. Mengusikku. Tapi entah kenapa, setiap kali dia memberikan perhatiannya padaku, aku merasa kikuk. Saat dia jauh di mata, aku justru malah lebih sering membicarakannya. Hanya itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibi Dan Habibah
RomanceIni adalah kisah tentang pertemuan yang tak terduga, hingga akhirnya membawa kepada dualisme kehidupan. Antara rasa kasih sayang dan ketulusan cinta. Cerita berlatar belakang kehidupan di rumah sakit. Dibalik hiruk pikuknya suasana disana, dan emerg...