"You only live once, but if you do it right, once is enough."
-Mae West{}
Suatu hari aku pernah bertanya pada temanku: "Eh, Angga, apa hal yang bisa membuat kamu bahagia?"
Sambil memakan keripik singkongnya dia menjawab. "Makan."
Bola mataku terputar. "Itu kalau laper. Yang bener sih."
Dia berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba saja bola matanya berbinar. "Ah, dimodalin Bokap buat modifikasi motor. Hmm, atau... ketemu Selena Gomez!" Katanya dengan mimik menggelikan.
"Itu ngimpi." Cibirku. Aku berbalik dan mencorat-coret belakang buku tulisku. Angga bergumam di belakangku, mengkhayalkan apa yang akan dia lakukan jika bisa bertemu Selena Gomez.
Saat ia selesai dengan khayalannya, ia mencolek pundakku. "Eh, Embun Dikala Pagi." Itu yang dia katakan ketika sedang mengejekku.
"Hmm?"
"Apa hal yang bisa membuat Embun bahagia?"
Sontak tanganku berhenti mencorat-coret. Pandanganku kosong. Sementara pikiranku melanglang-buana entah kemana. Ada beberapa hal yang bisa membuatku bahagia, namun ketika kutemukan lagi suaraku, yang keluar hanyalah: "Aku cuma mau cepet tidur."
-oOo-
Bogor,
11 Juli, 2012
Aku mengalami sesuatu yang bernama insomnia. Penyakit susah tidur yang sanggup membuatku terjaga semalaman. Mama sampai membawaku ke psikiater. Beliau mulai resah ketika insomnia-ku membuatku tidak tidur sampai berhari-hari dan itu sangat mengkhawatirkan, setidaknya bagi Mama.Bagiku, itu sudah bukan masalah lagi. Karena dokter dan psikiater pun bilang bahwa aku baik-baik saja, tidak ada kesalahan fisik atau kelainan mental. Jadi aku berasumsi bahwa 'tidak tidur' adalah bakatku.
Terkadang penyakit itu membuatku jenuh. Tidak, kenyataannya aku memang jenuh jika insomnia-ku memaksaku terjaga hingga semalaman penuh. Semua dvd yang sengaja kubeli untuk menemaniku telah selesai kutonton, semua buku yang ada di kamarku telah habis kulahap. Aku tidak akan menonton televisi karena tidak ada acara bagus selain berita-berita malam yang membosankan. Kadang kala, untuk menghilangkan rasa bosan aku akan menggambar anime. Tapi hal itu juga tidak sering kulakukan karena untuk melakukannya aku harus menunggu moodku datang. Maka tidak ada yang kulakukan selain duduk termenung. Entah melamun atau memandangi langit.
Aku sering melakukan dua hal itu. Namun lama-kelamaan aku juga bosan melakukan keduanya. Hingga pada akhrinya aku memutuskan untuk sedikit melakukan petualangan dimalam hari.
Setidaknya itu bisa sedikit mengisi waktuku. Jadi kurasa melakukan jurit malam bukan ide yang buruk.
Kurapatkan jaket ketika kedua kakiku sudah menginjak halaman di depan rumahku. Angin malam langsung menghampiri. Mereka seolah berbisik di depan wajahku, mengembuskan hawa dingin yang membuatku merinding. Belum lagi suara decitan besi ayunan di halaman rumahku, bergerak-gerak karena tiupan angin. Sesuatu yang sering kulihat difilm horor. Sekali lagi, aku merapatkan jaket, mencoba mengabaikan suara-suara malam yang memancing bulu romaku.
Kakiku melangkah menyusuri trotoar jalanan. Saat itu bulan baru sedang terjadi, langit begitu terang, bintang-bintang berkelap-kelip layaknya intan berlian yang ditabur di atas kain hitam. Menakjubkan.
Aku tidak sadar kalau terus berjalan sampai nyaris 300 meter. Ketika aku mulai merasa pegal, aku berhenti dan menoleh ke sisi kanan. Aku berada di depan sebuah stasiun tua yang sudah terbengkalai. Sudah cukup lama stasiun ini tidak lagi beroperasi--entah kapan persisnya. Aku tidak tahu alasannya, dan kurasa, aku penasaran.
Stasiun kereta ini sama halnya dengan stasiun kereta lain, hanya saja tempat ini benar-benar berantakan. Satu-satunya penerangan hanya berasal dari tiang lampu yang berada di peron tempatku berdiri. Tempat duduk besinya sudah karatan. Dan rel-nya pun sudah tak layak digunakan karena bantalannya telah dicopot secara paksa oleh sekelompok pencuri, kurasa.
Alisku bertautan saat mataku menangkap sosok seorang gadis sedang duduk di seberang sana--berseberangan denganku. Aku akan berpikir dia hantu kalau saja dia tidak menginjakkan kakinya di tanah--atau begitulah yang orang-orang katakan tentang hantu. Aku tidak tahu, aku tidak pernah melihat hantu. Tempatnya berada cukup mendapatkan cahaya dari tiang lampu. Karenanya aku bisa melihat bahwa gadis itu sedang menekuni bukunya. Bukan membaca, bukan juga menulis. Dilihat dari gerakan tangannya, kurasa dia sedang menggambar, menggunakan tangan kiri. Dia kidal, sama seperti Papa.
Aku menempatkan diri pada tempat duduk besi yang terdapat di sepanjang peron. Rasa dingin langsung menyerang kulitku ketika aku bersentuhan dengan besi tua karatan itu. Aku melemparkan pandangan sambil menyembunyikan kedua tanganku ke dalam saku, lalu menghirup udara di sekitarku dalam-dalam. Dan saat mataku kembali menatap lurus, pandanganku langsung bersirobok dengan matanya. Dia menatapku.
Dan saat itulah aku mengenalinya.
Gadis itu, gadis aneh yang menggambar tengah malam di stasiun kereta yang terbengkalai ini adalah tetanggaku. Rumah kami saling berhadapan, itu sebabnya aku tahu siapa dia.
Hanya saja, aku tidak tahu namanya.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Di Tengah Malam (COMPLETED)
RomanceIni bukan tentang Senja di sore hari yang mendadak muncul di tengah malam. Ini bukan tentang Senja yang selalu hadir di langit jingga. Tapi ini tentang seorang gadis bernama Senja yang memiliki suara semerdu alunan musik klasik, tentang seorang gad...