Chapter 15 - "Pelindung"

20.9K 2.6K 36
                                    

YUKI

Aku meratapi kalender yang berada tergantung di dinding rumah Ootonashi. Sudah tanggal 21 Desember, hari kamis. Yang mana hal-nya, aku sudah merepotkan keluarga Ootonashi selama sepuluh hari.

Pagi ini berjalan seperti hari-hari biasa selama sepuluh hari ini. Ayahnya Ootonashi membaca koran sambil menyesap teh hijau, pakaiannya sudah rapi dan tasnya sudah berada di sisi kursinya. Ibunya Ootonashi menyiapkan makanan ringan, membangunkan Akato dan Momo, menyiapkan pakaian mereka, lalu mengikat rambut Momo. Setelah itu Ootonashi akan turun dalam waktu...,

"Selamat pagi," sapa Ootonashi--langsung muncul dan menggeser pintu kayu--dan bergabung di meja makan bersama dengan keluarganya.

Saat tatapan mata kami bertemu, aku langsung mengalihkannya ke arah lain, menatap Akato yang sedaritadi membicarakan tentang salah satu karakter superhero kesukaannya.

Ah, memang aneh aku ini. Padahal aku yang meminta hal-hal aneh padanya, mengapa malah aku yang menghindar? Tak pantas sekali rasanya, seharusnya Ootonashi yang menghindariku, kan?

Sejak kejadian selasa lalu, pandangan Ootonashi padaku terasa berubah--ini menurutku. Ootonashi yang biasanya tidak pedulian, terang-terangan menunjukkan keheranannya, itu membuatku merasa begitu bersalah dengan pertanyaanku hari itu.

Argh, seharusnya aku tak langsung berbicara begitu di depannya.

Percaya atau tidak, tepat sedetik setelah aku mengucapkan kata-kata aneh itu, aku langsung mengatakan 'bercanda' dengan cepat. Namun aku bisa mengartikan tatapannya yang nampak tak percaya padaku.

Kami masih hening, bahkan setelah kami mengantar Akato dan Momo ke kelas mereka, perjalanan yang tak seberapa itu terasa berjam-jam. Aku hanya bisa mengikutinya dari atas, melayang dan berharap dia tak mendongkak ke atas melihatku.

Karena jujur, aku sendiri pun kecewa dengan diriku sendiri.

Seharusnya aku mempercayainya.

"Uhm, Ootonashi...," Aku membuka topik setelah tak berbicara dengannya dua harian ini. "Aku minta maaf atas perkataanku kemarin lusa. Jangan menganggapnya serius, mungkin aku hanya terpengaruh dengan ucapan para arwah-arwah lain yang sering mengucapkan hal yang sama."

Panjang sekali kalimatku.

"Tidak apa-apa," balasnya singkat. "Memang, kita tak boleh langsung mengambil keputusan jika sedang dalam keadaan mendesak. Aku bisa mengerti, tenang saja."

Huft, untunglah.

"Tapi..." Ootonashi mendongkak. "Apa yang membuatmu marah, sebenarnya?"

Kuputuskan untuk turun--tidak lagi melayang-layang agar Ootonashi tak perlu lagi mendongkak dan membuat lehernya sakit. "...Marah?"

"Kau terlihat marah saat perjalanan pulang," ucapnya dengan yakin, membuatku berpikir juga, apa mungkin aku memang tak bisa mengendalikan emosiku?

Tapi sudah lama diriku yang sebenarnya bersenyam dibalik topeng senyuman, menahan ucapan agar tak pernah mengungkapkan kata-kata yang menyakiti hati, berusaha agar tidak ada seorangpun yang tahu isi hatiku dibalik topeng senyum itu. Dan Ootonashi..., melihatnya.

"Apa aku tak seharusnya berkata begitu pada Ayah dan Ibumu?" tanyanya sedih. "Percayalah, aku sama sekali tidak berniat membuat mereka menjauh dariku, aku tak berniat membuatmu menjauh dari mereka. Aku hanya berniat membantu agar semuanya lebih mudah."

"...Aku tahu."

"Lalu, mengapa kau marah?" Tanyanya sekali lagi, yang membuatku menghela nafas.

DN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang