Remah Senja

25 1 1
                                    


Hembusan semilir angin mengarak sang surya untuk bersemayam dalam singgasananya, menghilang ditelan samudera yang keperakan terterpa bias sinar jingga. Riak ombak membawa suasana ketenangan tersendiri bagi tiap jiwa yang mau mendengarkannya. Diatas butiran pasir pantai Kuta yang putih kutatap kanvas langit yang semula lembayung perlahan merangkak beronakan kepekatan malam tempat sang purnama bersanding dengan ribuan bintang kan bertahta, menatapku yang tersenyum dalam kesepian, sendiri memikirkan dirinya di sana.

"Ehm... Kak Ahmad, makasih untuk beberapa tahun ini Kak Ahmad sudah jadi temen Arum menghabiskan senja di pantai yang indah ini."

"Kamu ini Rum, kita kan sahabat. Sudah sepantasnya jika kita selalu bersama. Kamu kayak yang mau pergi aja." Arum bungkam, suasana pantai senja itu hening, bahkan deburan ombak seakan enggan bersuara.

Sesaat terdengar suara mobil yang tak asing bagiku dan Arum. Mobil Om Wirawan, papanya Arum. Tak seperti biasanya Arum di jemput dengan mobil, biasanya Arum selalu memintaku untuk mengantarnya sampai rumah sekaligus makan malam bersama keluarganya yang kaya itu.

Sebelum melangkah pergi Arum menuliskan 'A2' yang ia bingkai dengan hati. "Maafkan Arum Kak. Arum harus pergi." isak tangis berlalu bersama langkah Arum yang berlari ke dalam mobilnya.

Setelah mobil hitam itu melaju pergi meninggalkanku sendiri, barulah aku tersadar bahwa Arum akan pergi ke pulau seberang, seperti yang ia katakan perihal pemindahan tugas papanya beberapa minggu yang lalu, jadi senja ini adalah senja terakhirku denganya, yang tak pernah ku tahu kapan dia kan kembali menikmati senja bersamaku.

"Aku akan menunggu kedatanganmu Arum, aku yakin Kamu akan kembali." Alangkah bodoh aku! Sebagai sahabat aku tak sempat memberinya kenangan terakhir yang spesial. Bodoh benar aku ini, bahkan aku tak peka maksud dari perkataan Arum beberapa menit yang lalu, yang sebenarnya merupakan salam perpisahannya denganku.

Tujuh tahun sudah aku tak pernah menikmati senja di pantai Kuta ini dengannya, pasca senja hari itu aku hanya menatap mentari yang menertawakanku yang duduk sendiri tanpa ditemani sahabat baikku yang kini menjadi sahabat hatiku. Hati? Bingkai hati yang Arum buat senja itu baru aku mengerti maksudnya pasca setahun setelah Arum meninggalkanku. Butuh tumbuh mendewasa dulu untukku paham maksud semua itu.

Sepucuk surat terdampar di pintu rumahku, dengan bingkai hati yang sama dengan senja waktu itu, surat hati dari Arum. Aku hanya senyum-senyum sendiri membaca surat yang Arum tulis. Pasalnya sebelum Arum pergi aku memendam rasa sayang kepadanya lebih dari sebatas sahabat, namun aku canggung untuk mengungkapkannya. Aku takut jika ku ungkapkan semuanya Arum kan menjauhiku. Entahlah? Mungkin ini yang namanya cinta tak memandang dimana dia kan berlabuh

Sungguh jauh raga ini hendak menggapai bintang di langit malam yang temaram, sama dengan asa hendak menjalin kasih dengan sang pujaan hati di pulau seberang, yang tak kunjung bersua. Tekadku sudah bulat, aku akan menyeberangi lautan untuk berjumpa dengannya disana mengabarkan kepadanya bahwa hati ini jua telah memilih untuk bersanding dengan hatinya yang telah lama merindukan kehadirannya.

###

"Ahmad... Kamu sunguh-sungguh mau ke pulau Jawa?" wajah mbah nampak gelisah, wanita paruh baya yang membesarkanku sendiri sejak ayah dan ibu bercerai 12 tahun silam, tak pasrah jika aku harus ke pulau seberang.

"Mbah, tidak usah khawatir. Saya bisa jaga diri di sana. Aira, titip mbah ya, selama abang pergi jangan sampai sakitnya kambuh." aku mencoba meyakinkan mbah. "Iya Bang, mbah sudah Aira anggap sebagai keluarga sendiri." untunglah Aira, tetanggaku mau untuk menjaga mbah selama aku pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang