Malam semakin pasi. Bintang bersembunyi di balik legamnya awan kelabu. Merangkak bersama angin yang membawakan rona kesunyian. Mendesir, menembus celah-celah sempit diantara ruang. Masa yang beranjak, waktu yang perlahan merangkak.
Tak terasa, hampir penuh satu jam, raga ini bersimpuh menyesali satu hari yang telah usai beberapa jam yang lalu. Bukan harinya yang salah, namun hatiku yang tengah bermasalah. Masalah hati yang membuat beberapa hari yang telah berlalu tiada mengandung arti.
Mataku berkabut. Membawa rintik putih air, mengendap menunggu tuk tumpah. Perlahan kabut yang mengkristal. Inginku menyirnakan kristal itu. Namun, tidak hilang, tambah menjadi buliran-buliran halus yang menetes layaknya gerimis senja tadi.
***
"Jatuh cinta itu adalah hal yang wajar, dan sudah fitrah dalam diri manusia untuk bisa merasakan cinta. Cinta itu pula beragam. Ada tiga pokok cinta yang paling utama dan harus ada di dlaam setiap insan yang beriman. yaitu: cinta kepada Allah, cinta kepada Rasulullah, dan rasa cinta kepada orang tua kita. Mungkin itu pembahasan kita sore hari ini, ada yang ingin ditanyakan."
"Ustadzah, bagaimana dengan rasa cinta kepada lawan jenis." pertanyaan itu meluncur sendirinya dari lisanku tak terpikir sebelumnya dalam benakku.
"Sudah, ustadzah sampaikan bahwa sejatinya cinta itu adalah fitrah. Jadi boleh-boleh saja kita mencitai lawan jenis asalkan masih dalam koridor-koridor ke islaman, dan tidak membuat kita lalai dengan kewajiban yng harus kita tunaikan yang ada kaitannya dengan tiga cinta yang utama tadi. Dan jadikanlah cinta kita kepadanya untuk lebih mendekatkan kita kepadaNya. Apa Niar tengah diserang virus cinta?" pertanyaan Ustadzah Asma' membuat seisi mushollah gaduh sontak melihat kearahku semua sambil tertawa sendiri, syukurlah peseta pegajian kali ini seluruhnya perempuan jadi sedikit malu saja yang kurasa. Tanpa menjawab pertanyaan beliau aku hanya senyum –senyum sendiri menehan malu, nampaknya terlihat jelas rona wajahku yang memerah.
Sepulang pengajian, hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Aku belum sempat beranjak dari pelataran mushollah, akibat tadi masih mampir ke kamar mandi. Sedang teman-teman pengajian yang lain telah berhambur berlarian menuju rumah mereka, sewaktu hujan tak sederas sekarang, yang menyebabkan aku harus menunggu hingga hujan reda. Ditambah, aku lupa tak membawa payung lengkap sudah alasanku tak bisa beranjak dari mushollah, pasalnya tdi sewaktu aku berangkat langit nampak cerah, tak sesuai terkaanku, takdir Allah tak dapat diperkirakan sebatas oleh otak kita sebagai hambaNya.
"Sendirian saja Niar?" suara itu sedikit berat, sepintas aku mengenali suaranya. Aku memutar kepalaku menatap arah datangnya suara itu.
"Akmal?" aku terperangah, ternyata memang benar aku mengenali suara itu, khas suara si Akmal teman ku sewaktu di SD dulu. Aku terperanjat tak percaya pasalnya Akmal yang dulu terkenal urakan dan suka nge-jailin teman-teman satu sekolah, terlihat berubah 180 derjat. Dengan sarung dan kopyah yang berteger dikepalanya membuatku sesaat tak mengenalinya.
"Iya, aku kira kamu tak mengingatku. Tambah dewasa dan cantik saja kamu Niar dengan balutan hijab seperti itu." pujian Akmal membuatku seakan melanglang ke angkasa. Cara bicaranya yang santu membuatku seakan luruh bersama derasnya hujan yang jatuh menumbuk bumi.
Obrolanku dengan akmal menemani sisa hujan sore ini, obrolan yang saling mengerti dan memberi arti bagiku entah bagi Akmal. Sayang, rasanya hujan terburu-buru untuk usai sampai-sampai, tanpa aku sadari umi datang menjemputku sembari membawakan payung.
"Niar, ayo pulang! Sudah hampir maghrib, loh! Ini bukannya teman Niar sewaktu SD dulu?" sama denganku umi juga terperangah ketika melihat Akmal. Seperti gerak refleks, tanpa diberi aba-aba Akmal langsung menyambar tangan umi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
Historia Cortacinta yang mengakar dalam hati, mencari arti kata suci dan berakhir haqiqi