Awal yang menyenangkan tak selalu indah di akhir kisah...
Aku paling benci dengan satu hal, Kebohongan! Dan aku trauma dengan pengkhianatan! Terlebih lagi pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang
yang aku saying! Sahabatku sendiri. Putri.Kisah sedih terjadi tepat setahun yang lalu. Dengan indahnya ia membohongi dan bermuka
manis dihadapanku. Aku sudah tak percaya lagi dengan sahabat dan teman sejati. Aku sudah
muak dengan semua itu.
Hingga hari ini tiba. Entah racun apa yang menyusup ke dalam hati kecilku ini.Kebencianku dengan persahabatan mulai hilang,
mennguap bersama dengan hadirnya seorang yang mampu berhadapan dengan kerasnya
hatiku. Dia adalah Nezia.Gadis yang aku kenal di sekolah, beberapa bulan yang lalu. Aku sebagai murid baru di sekolahnya. Kutunjukkan sikap arrogant dan tak bersahabat
kepada seluruh penghuni sekolah baruku ini.Tapi, entah terbuat dari apa mental gadis yang bernama Nezia itu. Apa yang ia inginkan dari sosokku? Dia mencoba terus menarikku dari gelap dan sepinya hati yang tercipta akibat
keegoisan diriku.Nezia mampu meluluhkan hatiku. Memberi sedikit cahaya di dalamnya. Memberiku sedikit
harapan untuk kembali mempercayai kata 'sahabat'.
Awalnya aku ragu saat akan menyambut jari kelingkingnya.Namun, akhirnya aku mengaitkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya. Awal
terciptanya sebuah hubungan persahabatan.Semoga Nezia adalah sahabat yang terbaik untukku dan aku akan menjadikannya sebagai
sahabat yang terakhir bagiku.
Rasa trauma dan sakit hatiku atas perlakuanPutri terhadapku meninggalkan luka yang mendalam. Rasa itu menggiringku untuk melakukan suatu pengujian terhadap Nezia.
Gadis yang telah menyatakan siap untuk menjadi sahabatku.
Aku uji dia dengan sikap egoisku.
Sifat jelekku, aku yang hanya mau dimengerti tanpa harus
mengerti orang lain. Dan dia menerima aku yang seperti itu. Kedua kalinya, aku mulai bertingkah seperti anak kecil. Nezia melewatinya dengan
mudah. Lalu aku coba untuk menjadi seorang yang posesif. Lagi-lagi gadis itu berhasil melaluinya tanpa kesulitan yang berarti.Terakhir, aku mencoba untuk mennguji kesetiaannya. Tiap kata yang terlontar dari
bibirnya aku rekam dengan sempurna di dalam otakku. Aku menyudutkan Nezia dengan kata-kata yang telah di ucapkannya sendiri. Aku
selalu menyalahkan apa yang menurutnya benar. Aku marah besar padanya saat ia melakukan
kesalahan-kesalahan kecil, sepele, dan tak patut untuk dipermasalahkan. Aku yang selalu ingin dia ada buatku, kapanpun aku butuh teman.
Saat itu aku tak menyadari bahwa sikap penuntutku itu malah berakibat fatal terhadap
Nezia.Sahabat kecilku itu jatuh sakit, hanya karena perbuatan bodohku. "Oh jadi kamu lebih milih makanan dari pada
sahabat kamu ini? Sahabat macam apa kamu?" kataku waktu itu, saat Nezia pamit sebentar dari hadapanku sekedar untuk mengisi perutnya yang kosong sejak pagi tadi.
"Nggak sahabtku lebih penting dari apapun," jawabnya sambil kembali duduk dan mendengarkan cerita-ceritaku.Esoknya....
Aku tak melihat sosoknya di sudut manapun sekolah hini. Dan akhirnya kutemui namanya
tercatat di papan absensi kelasnya. Dengan huruf 'S' bersanding diseblah namanya.
Tanpa pikir panjang lagi aku segera tancap menuju ke rumahnya. Tak menggubris teriakan guru tatib yang berkoar-koar melarang aku
meninggalkan pelajaran.Nez... kenapa kamu nggak bilang
ke aku kalau kamu sakit?
Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah Nezia... Nezia dan Nezia... "Hai, lho tumben sekolah jam segini udah pulang?" sapa Nezia saat melihat sosokku yang
mengintip dari balik pintu kamarnya. Kupaksakan sebuah senyuman untuknya.
"Aku bolos jam pelajaran terakhir, khawatir sama keadaan kamu, kamu sakit apa? Kok
nggak kasih kabar ke aku?" jawabku sambil mengamati wajah tirusnya yang pucat dan tak hentinya menyunggingkan senyum untukku."Ah nggak pa-pa kok... Cuma maag doank, bentar lagi juga sembuh, nggak ada yang perlu
di kuatirin Ze..."Kamu punya maag? Kok aku nggak tahu sih?
kalo gitu mulai besok kamu nggak boleh telat makan!"Ctttaaaarrrrr!!!
Bagai petir yang menyambar, aku teringat kejadian kemarin.
"Oh jadi kamu lebih milih makanan dari pada sahabat kamu ini? Sahabat macam apa kamu?"Mungkinkah semua ini gara-gara ucapankukemarin? Gara-gara keegoisanku kemarin? Tuhan
maafkan aku...Hatiku terasa teriris saat melihat kawan baikku ini masih tersenyum tulus dihadapan orang yang menjadi penyebab kambuhnya penyakit lambung
itu. Aku.