The Devil's Night

3.2K 127 9
                                    

“Benarkah Anda yang bernama Hava Eustacia? Perkenalkan, aku Antonio Eldorra!”

Oh Gosh! Kenapa cowok pembawa sial ini harus datang kemari? Aku merutuk dalam hati.

“Tidak usah berbasa-basi, Mr. Eldorra. Apa yang kau inginkan?” aku berkata tanpa memandang wajahnya. Muak! Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa aku begitu membenci cowok ini, dan mengapa sahabatku yang bernama Vara justru tergila-gila padanya. Nanti juga kalian akan tahu. Simpan pertanyaan kalian dalam hati.

“Eldorra?!” Vara menghambur ke arah pintu, mendorong tubuhku dan menggantikan posisiku yang tadinya berada tepat di depan Antonio. Tuh kan, benar kataku tadi. Vara tergila-gila pada cowok sialan ini.

Aku menghela napas panjang.

“Hai, Antonio! Well, kami baru saja membicarakanmu.”

“Bukan, bukan itu maksud Vara.” Aku menyela penuturan yang salah itu. “Kami hanya sedang membahas salah satu kisah yang aku tulis. Dan maaf sebelumnya, aku memakai namamu tanpa ijin.”

“Hahaha.” Vara tertawa. Entah apa yang menurutnya lucu. Sebelah alisku terangkat.

“Oh, tidak masalah, Sayang.” Antonio mengerling padaku, yang tentu saja membuat wajah Vara langsung berubah masam. Aku membuang muka. “Tapi ngomong-ngomong, kisah apa yang kau tulis?”

“Kisah tentang seorang psikopat bernama Ant…”

Aku segera menyumpal mulut Vara dengan roti Perancis yang kusambar begitu saja dari atas meja di dekat pintu. Kalau Antonio mengetahui masalah ini, bisa gawat! Dia pasti akan marah besar. Aku pernah satu kali terlibat masalah dengannya, dan aku tidak pernah mau berurusan lagi dengannya! Itu hal yang sangat tidak enak. Akan kuceritakan nanti.

“Hmm?” Antonio mengamati kami, kemudian matanya yang tajam menusuk-nusuk bola mataku yang abu-abu. Terus terang, dadaku berdegup kencang. Tenang! Aku gugup bukan karena aku tergoda oleh ketampanannya, melainkan karena aku agak ngeri ditatap seperti itu. Seolah-olah dia mau menerkamku saja!

Mungkin aku takut, tapi sungguh, aku tidak suka disebut penakut. Jadi kalian sebut saja aku kurang pemberani, setuju?

“Bukan, maksud Vara, kisah tentang… Emm…”

“Baiklah! Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah, apa aku boleh masuk?”

“Apa yang mau kau bicarakan? Kami tidak punya banyak waktu.” Aku menutup pintu setelah sebelumnya menarik tubuh Vara ke dalam.

“Tunggu! Aku hanya ingin melakukan kerjasama dengan kalian!”

“Hava, biarkan dia masuk.” Vara memohon. Aku mengangkat bahu dan kembali masuk ke dalam kamarku, menyalakan laptop dan mendengarkan lagu-lagu jazz dengan headset yang kubeli seharga 60 euro dua hari yang lalu.

Aku tidak sadar aku tertidur. Kira-kira satu jam kemudian aku terbangun dan mendapati apartemenku sudah kosong. Antonio sudah pergi. Vara juga sudah pulang, mungkin. Aku mengecek ponselku. Ada dua pesan masuk. Salah satunya dari Vara.

Hava, aku pulang dulu. Nanti malam aku ada acara dengan Antonio. Tidurmu nyenyak sekali, jadi aku sengaja tidak membangunkanmu. Sampai besok yaa... :-)

Acara dengan Antonio? Apa aku tidak salah baca? Aku mengucek-ucek mataku, tulisan di layar ponselku tetap sama. Aku menghela napas dalam. Semoga tidak akan terjadi apa-apa denganmu, Vara.

Masih ada satu pesan lagi, dari nomor yang tidak kukenal.

Blacksone café, 8.30 pm.

Sms macam apa ini? Sok misterius. Hahaha. Aku tidak akan sudi datang ke sana. Membuang-buang waktuku saja. Lebih baik aku pergi untuk mengeprint naskah novelku. Aku baru menyadari beberapa menit yang lalu bahwa printerku sedang bermasalah dan belum diperbaiki.

***

Sudah pukul setengah delapan malam. Aku membereskan meja makan dan mencuci piring dan gelas yang kotor. Aku melihat keluar jendela, langit tampak gelap. Mungkin sedang mendung. Kubuka jendela lebar-lebar, dan angin dingin merasuki kamarku. Kututup lagi dan kubiarkan tirainya terbuka. Aku segera berganti pakaian dan tak lupa menyisir rambutku serapi mungkin, kemudian memakai sebuah topi hangat. Kulilitkan syal coklat tua di leherku setelah sebelumnya kubalut tubuhku dengan jaket bulu berwarna coklat muda. Kuamati pantulan diriku di dalam cermin. Rok putihku yang setinggi lutut memperlihatkan kakiku yang jenjang dan putih. Sepatu high heels coklat tua menghiasi kakiku. Aku tersenyum sendiri. Ini pertama kali selama sembilan belas tahun aku mengenakan pakaian feminin. Biasanya aku tampil apa adanya dengan hanya mengenakan jins panjang dan kaos oblong serta rambut yang kuikat ekor kuda. Aku baru tahu, ternyata aku tidak jelek dengan mengenakan pakaian serba feminin begini. Ah, baiklah. Ternyata aku cukup cantik dengan pakaian seperti ini. Yeah, meski Vara tampak lebih anggun dariku. Setidaknya aku memiliki mata berwarna abu-abu dan rambut ikal panjang berwarna coklat yang tidak dimiliki Vara.

Aku menuruni anak tangga setelah sebelumnya mengunci pintu kamar apartemenku. Malam ini sepi. Entah kemana orang-orang penghuni apartemen yang biasanya masih saling berlalu-lalang di jam-jam seperti ini. Oh, aku baru sadar. Sekarang hari Sabtu. Mungkin mereka sedang bersenang-senang dengan pacarnya. Ah, masa bodoh! Bukan urusanku.

Aku menuruni anak tangga dan terdengar suara tok tok tok dari high heels yang kukenakan. Cukup menyeramkan sebenarnya. Seperti ada yang mengikutiku dari belakang. Tetapi saat aku menoleh, ternyata tidak ada apa-apa. Ketika aku berjalan lagi, suara tok tok tok itu kembali mengikutiku. Seharusnya aku tidak seperti anak kecil yang ketakutan terhadap bunyi sepatuku sendiri. Tetapi pada kenyataannya, aku memang seperti anak kecil. Memalukan.

Sampai di luar, ternyata udara sangat dingin. Aku berjalan agak cepat karena setahuku, tempat mengeprint di ujung jalan sana akan tutup pada jam sembilan malam. Sementara saat ini jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit.

Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di sana. Jadi kira-kira aku akan tiba di tempat tujuan sekitar pukul setengah sembilan kurang lima. Aku mempercepat langkah.

Aku mengumpat dalam hati ketika mendapati papan yang terpasang di pintu rental itu. CLOSED.

Sialan. Tempatnya juga gelap, sama sekali tak ada lampu yang menyala.

Angin berhembus kencang, memainkan topi yang kukenakan. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Aku terjingkat.

“Apa yang kaucari, Nona? Kau tak ingat besok malam Halloween? Jadi beberapa toko dan rental memang sengaja tutup untuk persiapan malam iblis besok.” Senyumnya menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.

Laki-laki itu kemudian berlalu begitu saja dan menghilang di balik pepohonan.

Malam iblis. Bagus sekali. Dua kata yang mampu membuatku cukup merasa lemas dan sulit untuk sekedar melangkahkan kakiku kembali menuju ke apartemen.

Ketika aku berbelok di ujung gang, langkahku terhenti. Seperti ada kekuatan yang mendorongku untuk menoleh ke seberang jalan sana.

Di sana ada sebuah papan kayu bertuliskan Blackstone café. Seketika aku bergidik. Kulihat jam tangan, pukul setengah sembilan malam. Aku mengecek pesan masuk di handphone ku.

Blacksone café, 8.30 pm.

Tiba-tiba dadaku berdegup kencang.

Sial. Sial sial sial! Kenapa sepi sekali tempat ini?! Apa semua orang sebegitu sibuknya mempersiapkan malam Halloween untuk besok? Kurang kerjaan saja!

“Miss Eustacia.”

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku tahu ada orang di belakangku.

“Akhirnya kau datang juga. Hahahaha.” Lanjutnya. Suara tawanya panjang dan bernada mengejek.

Jika besok adalah malam iblis bagi orang-orang yang merayakan Halloween, kurasa malam ini adalah malam iblis ku.

***

to be continued...

The Devil's Night (Devil 2)Where stories live. Discover now