Kutukan Blackstone Café

1.6K 115 4
                                    

Segera kuperiksa printerku, meyakinkan bahwa tidak ada apa-apa dan masih bisa kupakai. Aku berharap aku tidak harus keluar dari apartemen malam ini. Mengerikan, kau tahu?

Segera kunyalakan komputerku dan kusambungkan dengan printer. Aku mencoba menaruh selembar kertas dan mulai meng-klik Print. Seketika itu juga mataku terbelalak tak percaya melihat tulisan yang keluar dari hasil print out ku.

Sial! Sial sial sial! Apa-apaan ini?! Kuremas kertas bertuliskan Blackstone Café, 8.30 pm dengan tinta merah itu, dan kulempar ke tempat sampah.

Ini aneh. Aku yakin betul apa yang seharusnya keluar dari hasil print out tadi. Naskah novelku halaman pertama. Seharusnya memang itu. Tetapi sangat mengherankan karena yang tercetak justru selembar kertas bertuliskan nama café itu, dengan tinta merah.

Aku menatap jam dinding di atas pintu kamarku. Sudah pukul tujuh malam dan aku sama sekali tidak lapar. Jam makan malam  tiba sebentar lagi, tetapi aku sama sekali tidak ada keinginan untuk memasak. Kurebahkan tubuhku di ranjang yang empuk. Kuhela napas panjang dan kupejamkan mata.

Dok dok dok! Dok dok dok!

“Hava, buka pintu! Cepat, ini gawat!”

Samar-samar kudengar gedoran di pintu apartemenku dan suara seseorang memanggil namaku.

“Hava!”

Aku rasa aku tertidur. Dengan malas aku segera bangkit dan membuka pintu. Aku kenal suara itu. Dan benar saja, ketika pintu terbuka, tampak sosok wajah panik itu dengan mata terbelalak.

“Hava, ini gawat!”

“Ada apa, Caroline? Kau mengganggu tidurku saja.”

Caroline adalah salah satu teman sekelasku di kampus. Dia biasanya datang ke apartemenku ketika mood nya sedang jelek. Terakhir kali dia datang kemari sekitar seminggu lalu, untuk bercerita mengenai putusnya hubungannya dengan pacarnya yang kabarnya sangat  tampan dan kaya raya.

“Gawat sekali, Hava!”

 “Kau tahu ini sudah jam berapa, Caroline? Bisakah kau menggangguku besok saja? Aku sudah sangat mengantuk.”

“Tolonglah, Hava! Lagipula ini masih jam dua siang. Kau harus ikut aku sekarang!”

“Hahaha. Ini sudah lebih dari jam tujuh malam. Kau mengantuk ya? Atau jangan-jangan kau sedang mengigau, ha?”

“Apa katamu?! Kau yang sedang mengigau! Coba lihat, sekarang masih jam dua siang! Ayo cepat, Vara mengalami kecelakaan!”

Seketika tubuhku terasa lemas. Vara mengalami kecelakaan?! Aku segera menyambar tas tanganku di atas meja di dekat pintu dan bergegas menggandeng tangan Caroline keluar apartemen.

“Kau yakin yang kaulihat tadi adalah Vara? Vara Scotty, teman sekelas kita??” sambil menuruni anak tangga, kucengkeram erat lengan Caroline, menyeretnya seperti orang kesurupan. Padahal yang tahu tempat kejadian itu adalah Caroline, bukan aku.

“Aku yakin sekali! Aku sedang bersepeda di sekitar situ ketika kecelakaan itu terjadi! Tak lama kemudian beberapa orang berdatangan sambil berteriak panik!”

“Kau yakin, dia benar-benar Vara Scotty??” aku memberikan penekanan pada saat mengucapkan nama Vara.

“Yakin sekali! Lebih baik kau lihat sendiri nanti, dan pastikan bahwa dia memang Vara Scotty!”

“Yang benar saja?! Bagaiamana bisa? Apakah dia tertabrak truk, atau bagaimana? Apakah…” kalimatku terhenti seketika saat sudah berada di luar apartemen. Aku memandang langit yang masih sangat terang. Terlampau terang untuk dikatakan lebih dari jam tujuh malam. Cahaya matahari masih hangat kurasakan menyentuh kulitku. “Apakah… Ini masih siang?”

“Kau gila! Tentu saja ini masih siang! Dan Vara mengalami kecelakaan saat pulang dari apartemenmu tadi, yah… Kira-kira lima belas menit yang lalu.”

“Apa?!”

“Kenapa kau terlihat tolol begitu??”

“Vara… Dia tidak sendirian, bukan?”

“Dia bersama seorang laki-laki yang tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Mobil yang ditumpangi mereka berdua menabrak sebuah pohon Linden.”

Aku limbung. Aku tidak tahu harus memikirkan yang mana dulu. Vara… Atau mimpiku tadi.

Perlahan-lahan aku mulai tersadar.

Aku baru saja mengalami mimpi di dalam mimpi.

Di sisi lain aku bersyukur, karena Blackstone café tidak benar-benar ada. Itu artinya, aku tidak perlu takut – atau khawatir – akan terjadi apa-apa nantinya.

Tapi di sisi lain, aku juga mulai panik saat kembali tersadar bahwa sahabatku sedang dalam keadaan kritis.

“Caroline, bagaimana keadaan Vara sekarang? Dimana dia dirawat? Apakah lukanya parah?”

“Hava, maaf…” seketika wajah Caroline terlihat sendu. Dia menundukkan kepala.

“Cepat katakan, Caroline! Bagaimana keadaan Vara?!”

“Dia…”

“Iya, cepat katakan! Apakah tulang punggungnya patah? Atau kakinya remuk?! Atau kepalanya hancur?? Cepat katakan padaku, Caroline!”

“Vara Scotty… Dia… Dia sudah meninggal.”

***

to be continued...

The Devil's Night (Devil 2)Where stories live. Discover now