Patrem

885 35 21
                                    

Bintang berpendar di langit. Rembulan bagai semangka berwarna kuning di atas kepala. Namun, malam ini terasa begitu sunyi. Tidak ada angin yang asyik bermain dengan dedaunan. Tidak ada suara jengkerik yg menjerit meriuhkan malam. Pintu-pintu rumah juga tertutup sejak sore. Sepi. Malam seperti memberi tanda bahwa akan ada pencuri atau nyawa yang tercabut dari raga.

Harum bau bunga-bunga mangga yang sedang mekar mengambang layaknya kabut. Harum itu memenuhi setiap jengkal halaman tempatku berdiri saat ini berselimut hitam jubah sang malam. Anakku Telaga  sudah tertidur pulas sejak sore di kamarnya. Dari arah barat lirih angin membawa suara gamelan tayup, yang membuat pikiranku dipermainkan kenangan.

Menjadi perempuan itu tidak mudah. Berat! Perempuan tidak hanya harus menyusui anak, tapi juga menyusui semesta. Berbakti pada suami, harus kuat menahan semua cobaan hidup, karena semesta tercipta dengan pranata sosial yang cenderung memihak pada priya.

Harus bisa mengatur segala macam emosi, adanya hanyalah rasa ikhlas, dengan begitu manusia bisa mengikuti pusaran roda nasib dan aliran sungai kehidupan.  Begitu kuingat nenek dulu sering berkata padaku. Berpesan pada saat kami berdua menghabiskan sore sambil memandang merahyang menghilang perlahan berganti malam.

Nenek juga pernah bercerita bahwa ketika aku lahir di sertai oleh bau harum bunga pandan. Itulah sebabnya aku diberi nama Pudhak (bunga pandan). Sayangnya, dua tahun setelah kuhirup pengap hawa dunia, ayah-ibuku meninggal karena kecelakaan. Hal itu baru aku ketahui begitu aku menginjak dewasa. Karena bila aku bertanya mengenai kepergian ayah-ibuku seringkali nenek hanya berkata bahwa ayah-ibuku berpergian jauh. Ke sebuah tempat yang jauh dan tinggi letaknya, Saking tingginya hingga kelihatan seperti kerlip bintang di langit. Lalu nenek dengan jari tuanya menuding dua buah bintang yang ada di langit dan anehnya aku percaya. Itulah sebabnya bila rasa rindu pada ayah-ibuku menderu, aku selalu menunggu malam, berlari di halaman dan mencari dua bintang itu. Lalu kusimpan kelipnya dalam mimpi-mimpiku.

Begitu banyak suara-suara berbisik, dari balik punggungku dan nenek. Suara yang tiba-tiba saja menjadi senyap dan lenyap setiap kali aku dan nenek membalikkan tubuh. Suara-suara yang tidak jelas berasal dan bersumber dari mana. Suara-suara yang lirih bercerita bahwa garis leluhurku adalah garisnya manusia yang terkena kutuk. Tidak bakal ada priya yang berumur panjang begitu masuk ke dalam lingkaran keluargaku. Bila hal ini kutanyakan pada nenek, beliau hanya tersenyum dan kemudian bercerita bahwa garis keluargaku adalah garisnya dhanyang desa, orang terpilih yang pertama kali membuka lahan untuk dijadikan desa.

Nenek sering mengajakku berjalan, berkenalan dengan malam dan pekat sang gelap. Melihat bintang, kunang-kunang, kodhok dan apa saja isi pekat malam. Masih kuingat jelas nenek selalu bersenandung lirih sambil berjalan : sagung pancabaya samya bali, sakathahing ama miruda, wedi asih pandulune, sakabehing braja luput, kara-kara pan wuk sakalir, saliring wisa tawa, sato kurda tutut, kayu aeng lemah sangar, songing landak, guwaning wong lemah miring, pokiponing merak… Suara yang seolah hidup merambat di batang-batang pohon, rerumputan, batu juga terbawa oleh aliran air sungai.

Nenek juga yang menjadi guruku bercocok tanam. Membuat cok-bakal untuk di tempatkan di pojok-pojok sawah begitu padi mulai ditanam dan ketika panen tiba. Mengajari doa-doa penolak hama dan celaka. Ditemani sebuah boneka kayu Roro Dhenok, biasanya Sang Hyang Sri mulai menjejak bumi.

Di malam tertentu aku diajak nenek berkeliling desa, sawah dan juga perbukitan. Malam lainnya, aku menemani nenek bersila di halaman mendengarkan suara semesta hingga dingin embun di pucuk-pucuk rumput terasa membasahi kaki kami.

Aliran sungai kehidupanku agak berubah begitu aku menginjak dewasa. Aku mengenal Kang Marto, priya lugu, jujur yang memasuki semestaku. Seribu bunga mekar bersama kepak sayap kupu-kupu. Semesta meruah, indah. Aku dan Kang Marto menikah. Setahun sesudahnya nenekku meninggal dunia.

PatremTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang