Cerita ini sebelumnya pernah aku post di grup fb dengan nama yang berbeda.
Aku POV
AKU memangku kotak lusuh yang selalu kusimpan di lemariku. Ku buka tutupnya, kupandangi setiap detail isinya. Terdapat surat, kaset, dan foto. Tiga benda yang sangat berharga dan berarti. Selalu pertama kali ku baca kertas yang sudah mulai menguning. Tertulis di nama pengirimnya, Rendi. Ku cermati baik-baik setiap hurufnya. Tidak ada yang berubah. Sampai aku hafal setiap kata, koma, dan titiknya. Lalu mataku menatap lamat-lamat tanggal dikirimnya surat itu. Hari itu, adalah hari ulangtahunku, hari jadianku bersama Rendi, hingga hari dimana aku harus berpisah darinya. Tujuh Januari. Dunia seakan ingin aku untuk merasakan bagaimana rasanya patah hati. Untuk pertama kalinya aku menangisi seorang lelaki. Sepucuk surat yang sangat menyakitkan. Secarik kertas berisi ungkapan selamat tinggal tertulis sangat jelas. Lalu ku ambil kaset itu dan kuputar hingga terdengar jelas nyanyian indah yang merekam suaranya dengan iringan petikan gitar. Lagu perpisahan. Air mataku selalu menetes tiap kali aku membaca surat dan memutar kaset itu. Ditambah lembaran-lembaran foto bersamanya yang tidak bisa aku buang jauh-jauh dari hidupku. Aku ingin sekali membakarnya. Memusnahkannya. Namun aku tak bisa. Aku terlalu mencintainya.
"Nduk, ayo makan dulu. Dari tadi kamu belum makan. Nanti sakit." Suara seorang wanita setengah baya masuk ke dalam kamarku, yang tak lain adalah ibuku.
"Nduk, Ibu sudah bilang kan, jangan kamu simpan lagi barang-barang itu. Buang semuanya. Ibu tidak tega melihat kamu harus menangis setiap tanggal tujuh Januari, Nduk." Ibuku merengkuh tubuhku. Ikut tenggelam dalam kesedihan atas apa yang selalu aku rasakan setiap tanggal tujuh Januari.
"Tapi Bu, aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa harus melepas semuanya. Biarlah kenangan ini tetap tersimpan."
"Nduk, dengar Ibu baik-baik. Dia bukan lagi milikmu. Terimalah kenyataan. Dia sudah melepaskanmu. Cobalah juga untuk melepaskannya. Masih banyak lelaki yang lebih baik daripada dia yang tidak akan mengecewakanmu. Lebih pantas untukmu yang bisa membahagiakanmu tanpa harus meninggalkanmu seperti Rendi. Lepaskan semuanya, Nduk. Buang semuanya. Bila perlu, bakar sampai tak bersisa apa-apa. Biarlah tanggal tujuh Januari bulan ini menjadi tanggal terakhir dimana kamu merasakan sesak." Ibuku selalu menasehatiku agar aku menyingkirkan jauh-jauh kenangan yang telah terukir indah bersamanya. Memerintahkanku agar aku melupakannya yang telah menancapkan luka di hatiku.
Akhirnya dengan sangat berat hati aku mengangguk setuju. Aku mengambil korek api dan minyak tanah. Ku pegang erat kotak biru tua berpita merah polkadot itu. Aku letakkan di atas pekarangan rumah. Ku lumuri kotak itu sampai ke isinya dengan minyak tanah. Kunyalakan korek api, lalu ku lemparkan ke kotak dan tiga benda itu. Api mulai menyulut-nyulut. Air mataku mulai membanjiri pipiku. Dadaku semakin sesak saja melihat setiap kobaran api yang menghancurkannya sedikit demi sedikit. Tanganku terkepal, ingin rasanya aku ambil kembali tiga benda itu. Tapi aku harus melawan perasaanku. Cukup ini yang terakhir kalinya. Jangan lagi.
"Sudah, Nduk. Ayo masuk. Kamu tadi belum jadi makan. Nanti maag kamu kambuh." Ibuku menarik tanganku masuk ke dalam rumah. Aku melangkahkan kaki, tapi hatiku masih disitu. Pandanganku ke belakang, mencermati lagi bagaimana api akan meluluh lantahkan benda kesayanganku. Tiga benda berharga dalam hidupku.
*****
"BU, hari ini aku pulang sore. Mungkin bisa sampai gelap baru pulang. Ada tugas yang harus diselesaikan. Kalau dikerjain di kampus, inspirasinya pasti lebih banyak, Bu," pamitku kepada Ibu yang sedang menyapu di teras rumah.
"Ya sudah, hati-hati ya, Nduk. Kalau ada apa-apa langsung telepon Ibu." Ku daratkan bibirku di kening dan kedua pipinya. Ku cium kedua punggung tangannya yang mulai mengkerut. Lalu ku peluk dia sebelum aku bergegas ke kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Januari (Harris J)
FanfictionTerkadang hari dimana seharusnya Aku merasakan sebuah kebahagiaan bisa menjadi hari dimana rasa sesak itu selalu datang. Apakah ini adil?