Semua yang terjadi seperti sebuah mimpi. Hanya serpihan kerlip bintang yang tersisa, di balik sesosok yang beku ini hanya ada sesuatu yang terluka, tergores. Tak akan dapat dikembalikan seperti semula. Seberapa payahnya engkau berusaha. Sejarah telah tercatat. Yang bisa kau lakukan hanya menjalani kehidupan masa depanmu sesuai takdir. Tak ada gunanya maaf mu, tak ada gunanya sesalmu. Mengharapkan fiksi belaka. Waktu tak bisa diputar kembali. Ikuti jalan bintang di langit malam, sesuai takdir masing- masing.
“Versel, kamu kenapa gak jawab Natcha?” tanya mama sambil menuju tempat tidurku.
Aku pura- pura pusing, gak bisa bicara, dan kembali dalam posisi tidur. Berharap mereka meninggalkanku sebentar.
“Oke auntie, thanks udah kasi kesempatan buat kami ngunjungin dia.” Greyson pamit. Natcha tampak menggandeng tangannya keluar.
“Iya tante, kami balik dulu ya.”
“It’s okay. Thanks juga udah datang.” Mama mengatar mereka sampai ke depan. Pas mama lagi di depan ponselnya berbunyi. Aku berusaha menggapainya, melihat nama peneleponnya, Papa. “Kenapa papa nelpon? Papa? Udah tau? Ish sok- sok perhatian lagi, pake nelpon- nelpon segala, tau deh yang sok sibuk. Nanti pun pasti marah- marah, mending gak usah nelpon aja.” gerutuku sambil setengah membanting hp mama ke tempat tidur.
*
Masih manyun, aku melihatnya datang, dengan kemeja linen panjang, celana hitam sampai menutupi kaus kakinya. Papa. Menyebalkan. Muka papa memuakkan, pasti nanti marah lagi.
“Hit the lights, let the music move you, lose yourself tonight. Come alive, let the moment take you lose control toni-“. Hapeku berdering tanpa ampun dengan volume maksimal. Spontan aku terkejut. Papa tampak terkejut juga, tapi ia segera memandang ke arah lain.
“Mana mamamu, versel?” Papa mengambil segelas air minum.
“I don’t know either, pi.” ujarku ragu- ragu, merasa papa sebagai harimau yang terlalu buas untuk di kasih jawaban tidak tau.
Seperti perkiraanku, papa gak puas dengan jawaban itu, alisnya bertautan, dahinya mulai berkerut.
“Mama ini kenapa sih, tau gak anaknya masuk rumah sakit, masih ditinggalin lagi.”
Kemudian hening. Papa bersimpuh duduk di karpet dalam diam. Memencet- mencet tombol hapenya, menunggu mama yang berasa bertahun- tahun. Aku mulai gerah, gak tahan, bisa mati kebosanan nunggu mama.
*
Akhirnya tuan yang ditunggu- tunggu telah datang. Mama kelihatan mulai datang kemari dari kejauhan, menenteng plastik- plastik merah, yang isinya masih misteri, misteri yang akan diselesaikan ketika mama sampai di ruangan ini. Mama masuk ke ruangan tanpa merasakan aura kehadiran papa. Dan ketika mama membalikkan badan...
BOOM.
Ruangannya meledak.
Kami bertiga meninggal dunia.
The End.
Sebenarnya pengen gitu juga, lebih gampang, irit waktu, irit tempat, irit tenaga, irit data, juga biar gak ribet nulis kepanjangan cerita ini lagi, tapi masih banyak misteri ilahi dalam cerita ini yang belum selesai. Jadi, mama terkejut setengah hidup, berusaha bernafas dan memahami kejadian demi kejadian yang berlangsung demikian cepat. Berkelebat peristiwa- peristiwa dan janjinya dengan papa di kepalanya, yang membuatnya makin pusing.
“Darimana aja kamu?” suara papa jadi lebih dalam, emosi nya mulai terdengar dari suaranya.
“Dari lobby.”
“Ngapain aja?”
“Ngantar Greyson.”
“Lagi? Greyson lagi? Udah dilarang teman sama bule gila itu, versel, dengerin papa.”
*
Aku menengadah ke langit, mencari awan- awan yang biasa melindungiku dari serangan sepihak matahari. Tapi aku tak menemukannya. Mencoba mencari tempat berteduh, melindungi diri dari kenyataan kejamnya dunia ini. Berharap semua harapanku dapat berubah menjadi realitas dengan mudahnya, walau tau hal- hal bodoh seperti itu hanya membuang waktu.
Berlari tak bertujuan. Aku melepaskan jaketku karena gerah, mencoba melihat dunia ini sekali lagi. Yang kutau, aku berlari mengejar impianku. Walau akupun kurang jelas mengetahuinya, apa impianku itu, berharap dapat mengetahuinya, secepatnya.
“Tuhan. Berikan aku kesempatan sekali lagi.” bisikku lirih. “Only once anymore, I beg you. Everyone deserves for a second chance righ-ttt.” airmataku mulai turun membasahi pipiku yang hangat, di tengah hari dingin berkabut itu.
Menengadah ke langit untuk sekian kalinya, mencari bintang yang hanya untukku. Yang diciptakan memang untuk menemaniku. Selalu bersinar di malam sendu, menyinari hatiku yang sepi. Masih teringat kejadian- kejadian itu. Waktu telah terlewati dengan sangat cepat, tak terasa sudah tahun ke- tiga sejak hari meninggalnya papa.
Masih terbayang kata- kata terakhir mama pada saat- saat genting itu.
“Jangan kurang ajar, nan. Kamu gak tau? Papa meninggal karena apa? Papa kanker, nan-nnnh.” air mata mama turun, terbayang kesedihan mama berkelebat dipikiranku.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menghilangkan pikiranku tentang hal- hal yang masuk black list itu. Tapi kata- kata terakhir mama sebelum pergi masih menghantui pikiranku.
“Renee, renaan, mama pergi dulu.”
“Re-nee, re-naan, ma ma pergi du-lu.” Aku mengulangi kata itu, merindukan suara mama. Sudah 3 bulan sejak raibnya mama.
“Renaan. Renaan. RENAAAAAN!” Teriakan itu menggema. Pandanganku kabur. Salju? Di Indonesia? Seriously man. “RENAAN!” Teriakan itu disertai dengan tinju kecil nya di pipiku.
“Renee.” aku berusaha bicara. Nafasku tersengal.
“Udah kubilang juga, kalau kabur dari rumah sekali lagi, kubiarkan kamu mati kedinginan.” ujarnya berkacak pinggang.
“Renee, renee, udah kubilang juga, aku gak kabur, aku cuman mau menikmati waktuku sedikit dari penjara yang kamu buat.”
“Heh? Dari dulu ga berhenti bilang aku bikin penjara, gak salah dengar? Kamu mah, nan mau makan aja noh, kerja gamau, pemalas, gimana mau hidup! Mau bergantung sama siapa? Mama? Papa? Aku sih lepas tangan sama orang kayak kamu.” Dia berjalan sambil meleletkan lidahnya sebentar.
“Hufft, hahaha!”
Aku menoleh, kudengar suara tawa. Hantu? Gak ada orang di situ. Aku beranggapan itu cuman perasaan aja. Kemudian tawa itu menjadi semakin keras. “HAHAHA!” Kemudian orang pemilik suara itu duduk. Di samping ku. Wajah polosnya memandangiku, seperti aku bersalah padanya. Kukernyitkan alisku, berusaha mengingat wajahnya. Wajah yang mengingatkanku pada mama.
“Versel. Versel Fernanda.” Ia mengulurkan tangan.
“Renaan.” Aku bicara tanpa menyambut tangannya.
“Renaan doang? Gak asyik.”
“Emang kamu maunya apa?”
“Eh, apa ya? Renaan aja udah bagus sih.”
“Aneh.” Aku menghela nafas. Hari makin dingin. Kurapatkan jaketku meninggalkannya tetap terduduk disitu.
Dia hanya tetap duduk disitu, memperhatikan caraku berjalan, bulan mulai keluar dari tempat persembunyiannya ketika aku sampai di rumahku dengan Renee berkacak pinggang di depan pintu.