Bagian Dua

71 6 1
                                    

(yang udah baca ep. 1, balik lagi ya! ceritanya aku tambahin)

Ibuku sedang berteriak-teriak histeris karena Excel, kakakku, dinyatakan lolos pertukaran pelajar ke Jepang. Aku bisa melihat ekspresi risih Excel saat ibu memeluk dan mencium-cium kepalanya. Meski taruhan, Excel sebenarnya senang sekali diperlakukan begitu.

Excel adalah genius di rumah kami−ngomong-ngomong, aku juga. Dia kuliah di jurusan arsitektur. Dari tahun lalu dia sudah mempersiapkan diri untuk ikut seleksi program pertukaran pelajar ke Jepang yang diadakan kampusnya. Aku menyaksikan bagaimana dia belajar keras untuk tes-tes yang akan dilaluinya. Hasil memang tak pernah mengkhianati usaha. Akhirnya dia lolos seleksi untuk pertukaran pelajar ke Kyoto University.

"Nah, karena hari ini adalah hari spesial, ibu akan masak makanan spesial juga untuk makan malam kita," katanya antusias.

Yes! Aku meninjukan tangan di udara. Itu artinya akan ada ikan bakar, nasi liwet dan pepes jamur favoritku dan Excel. Disebut spesial karena hanya ibu dan Tuhan yang tahu bumbu ikan bakar super lezat itu. Masalahnya ibu jarang sekali masak ikan bakar. Ribet, katanya.

"Akan ku-SMS Avioletha supaya dia datang juga," kataku seraya mengeluarkan HP. Saat selesai mengirim SMS, kulihat semuanya menatapku. "Avioletha boleh ikut makan, kan?"

Ibuku yang pertama kali tersenyum disusul Excel tertawa-tawa setlah mendengar pertanyaanku. Aku tak mengerti kenapa mereka bersikap seperti itu. Mungkin mereka teringat Avioletha yang terakhir kali datang ke rumahku dengan sepiring kue cubit hasil praktiknya di klub memasak. Yang jujur saja, rasa kuenya aneh sekali.

***

Saat aku mengundang Avioletha makan malam yang kumaksud adalah dia datang saat makanan sudah terhidang, bukan satu jam sebelumnya saat ibuku sedang memasak. Hal itu sangat penting karena kalau tidak, Avioletha akan dengan senang hati membantu ibuku di dapur. Mengacau lebih tepatnya.

Avioletha sangat suka memasak. Dia mencoba apapun yang ada di buku resep dan internet. Gadis mungil itu terampil menggunakan pisau dan berbagai peranti dapur. Hanya saja rasa masakannya kadang aneh. 'Aku, kan, sedang dalam tahap belajar' adalah kalimat andalan kalau rasa masakannya tidak enak.

"Mana ikan bakarku?"

"Ibu punya yang lebih baik dari ikan bakar. Ta-da ...." seru ibu. Avioletha muncul dengan senampan penuh pepes jamur.

"Kupikir ibu beli ikan juga tadi," kataku bingung.

"Memang. Tapi, ibu mengolahnya menjadi pepes ikan super lezat atas saran Vio."

Aku melirik Avioletha. Dia menepuk dadanya jumawa.

"Pepes ikan lebih sehat dari ikan bakar. Betul kan, Vio?" kata ibuku lagi.

"Tapi kita sudah punya pepes jamur!" protesku. Aku tak percaya ibuku tidak tersinggung dibilang ikan bakarnya tidak sehat.

"Shhh, sudah-sudah! Kamu jangan rewel, Lubri," ibu mendudukkanku di kursi seolah aku anak kecil. Aku menggerutu. Dengan enggan aku meraih piring lalu menyendok nasi.

"Wah, baunya enak banget," Excel muncul dari kamar sambil mengendus-endus, "tapi, bukan ikan bakar ya?" Dia bergabung dengan kami di meja makan. Tanpa banyak protes sepertiku dia mulai memenuhi piringnya dengan makanan.

"Kalau ayah di rumah pasti dia suka pepes ikan ini," kata ibuku. Kulihat dia sama lahapnya dengan Excel. Awas saja Avioletha! Gara-gara dia, tunggu, oh pepes ikannya lezat sekali ternyata!

***

"Kak Excel keren banget yah bisa pergi ke Jepang," gumam Avioletha. Kami duduk di teras rumah setelah makan. Excel sudah masuk kamarnya untuk belajar bahasa Jepang. Kami semua menolak ajakan ibuku nonton sinetron favoritnya.

"Pada dasarnya semua orang bisa pergi ke Jepang kalau punya uang. Dan pasport," sahutku.

Avioletha meninju lenganku. "Iiih, kamu tahu bukan itu yang kumaksud!" Dia cemberut. "Oya, besok kayaknya aku enggak berangkat bareng kamu deh," sambungnya.

"Kenapa?"

"Arsenio bakalan jemput aku."

"Arsenio siapa? Namanya kayak sejenis racun."

Avioletha meninjuku lagi. "Aku belum bilang, ya? Itu nama kakak sepupu Norvin dari pihak ayah tirinya yang berkebangsaan Paraguay."

Oh. "Jadi, kakak sepupu Norvin dari pihak ayah tirinya yang berkebangsaan Paraguay yang matanya berwarna amber cerah itu sedang berusaha PDKT padamu?"

"Mari kita permudah saja. Namanya Arsenio, aku memanggilnya Arsen. Dan ya, kami sedang dalam proses PDKT," jelasnya bangga.

"Kamu baru satu kali bertemu dengannya lalu menyimpulkan kalian dalam masa pendekatan?"

"Kurasa itu cinta pada pandangan pertama."

"Bukan! Itu adalah 'astaga, dia tampan pada pandangan pertama!'." Aku menirukan nada bicara Avioletha yang selalu penuh tanda seru.

"Well, kamu belum ketemu sama dia tapi sudah bilang dia tampan. Dia memang tampan, kok," sahutnya penuh kemenangan.

"Yah, terserahlah," kataku tak acuh.

***

Catatan:
Pada saat Lubri bilang, 'astaga, dia tampan pada pandangan pertama', kalimat itu terinspirasi dari novel Romeo and Juliet.

Parallel AffectionWhere stories live. Discover now