Prolog

87 4 2
                                    

"Ada satu alasan mengapa dunia itu bulat; agar kita bertemu. Ada satu alasan mengapa waktu berputar; agar kita melewatinya bersama."

Gadis itu masih termenung, memeluk kedua lututnya, pikirannya tak sedang kacau, hanya saja ia sedang tak tau apa yang harus dilakukannya. Terkadang, orang menilainya salah. Mereka selalu menilai bahwa ia gadis yang egois. Padahal...ia hanya perlu dimengerti.

"Ra."

Gadis itu menoleh pelan. Lidahnya terasa kaku. Enggan sekali rasanya ia berucap. Ia hanya takut melukai seseorang yang memanggilnya. Karena sudah sering sekali ia memarahi orang itu.

"Gue masuk ya?"

Masih pada posisinya, gadis itu hanya mengangguk pelan. Lalu, kembali terdiam. Seseorang yang tadi berada diambang pintu, kini duduk sejajar dengannya.
Seorang pria. Ya, yang duduk disebelahnya adalah seorang pria. Pria yang selama ini menemaninya, pria yang selama ini ada disampingnya.

"Ra."

"..."

"Ra."

"..."

"Raya."

Raya. Nama gadis itu. Soraya Kusuma Putri. Nama yang cantik, secantik orangnya. Ia bilang, "Jangan panggil aku cantik! Karena yang cantik tak selalu pintar.". Orang yang mendengarnya pasti terkekeh. Ia tak ingin mengakui dirinya cantik hanya karena ia takut ia tak jadi pintar. Harus kalian tau, dia itu masuk 3 besar. Waw.

"Apa?"

Setelah sekian lama diam, dan berusaha untuk memaki dirinya sendiri, kini keberaniannya untuk berbicara telah muncul. Pikiran yang katanya tak kacau, tanpa dinyana memang telah kacau sejak tadi ia memeluk lututnya. Hanya terkadang, ia sulit untuk mengakuinya. Raya menatap seseorang disampingnya, orang yang sedari tadi memanggilnya.

"Ada apa? Kenapa jadi lo yang diem?"

"..."

"Revan, please. Ada apa?"

Revan. Pria itu bernama Revan. Revano Faiz. Nama yang cukup singkat. Namun Raya menyukainya, menyukai namanya, karena mudah diingat. Nama itu juga yang selalu menjadi sandarannya. Kau tak perlu bertanya-tanya ada hubungan apa antara mereka. Karena kau pasti tau, bahwa diantara keduanya---

"Anu, itu, Ra. Lo gapapa?" tanyanya terbata-bata.

Raya memicingkan matanya. Berusaha menyelidik orang yang ada disampingnya. Siapa tau dia menyimpan rahasia.

"Lo cuma mau nanya itu? Lo ke sini cuma mau nanya 'lo gapapa?'. Lo nyembunyiin sesuatu ya, Van?"

"Bukan gitu, Ra."

Keduanya kembali diam. Bisu. Hening. Sepi. Sunyi. Apapun itu namanya, hal itu telah mendominasi keadaan diantara mereka.

Raya tau, Revan menyembunyikan sesuatu darinya. Revan menyembunyikan sesuatu dihatinya, bahkan, matanya yang berbicara. Matanya yang tak mampu menyembunyikan semuanya. Raya tau, Revan tak ingin Raya terluka. Raya juga tau, Revan selalu ingin dia tersenyum. Tapi setalah semua itu terjadi, apa ada alasan untuknya tersenyum?

"Gue gapapa, Van."

Revan menatap Raya ragu. Gadis yang ada disampingnya kini hanya menatap kosong ke arah jendela. Ia menerka-nerka apa yang terjadi pada gadis ini sebenarnya. Dengan spontan, Revan mendekatkan dirinya pada gadis yang ada disampingnya. Tangan kanannya berusaha menarik tengkuk gadis itu. Ia hanya berusaha untuk menjadi penenang gadis yang dilihatnya sedang kacau.

"Nangis aja, Ra. Gue tau, lo ga bakalan sanggup nahan air mata lo sendiri. Jangan selalu bersembunyi di balik kata gapapa, Ra."

Raya hanyut dalam dekapan Revan. Tangisnya perlahan pecah. Dada Revan seketika itu sesak. Ia hanya tak bisa melihat gadis yang ada didekapannya kini menangis hanya karena orang lain. Ia tak ingin seseorang melukai perasaan gadis yang sedang dibelai rambutnya. Ia tak ingin seseorang menumpahkah tinta hitam dengan cerita yang kelam pada gadis yang dengan susah payah ia tenangkan.

"Revan.." ucapnya lirih.

"Iya, Ra?"

"Maaf gue ngerepotin lo lagi. Hiks."

"Sst, nangis nangis aja, gausah pake ngomong. Nanti gak khusyuk."

"Lu mah ih."

Sedikit saja, tawanya kembali hadir. Meski sangat tipis. Tapi bagi Revan sudah cukup.

Raya melepaskan tangan Revan yang sedari tadi mendekapnya, ia tau, pasti baju pria ini sudah basah karena tangisnya. Dibenarkan posisinya agar berhadapan dengan pria yang tadi mendekapnya.

"Lo tau?" ucapnya serasa mengusap pelan air matanya.

"Razi..." lanjutnya pelan.

"Bisa gak sih lo ga cerita dulu? Baju gue belum kering nih. Nanti lo malah mewek lagi, ah." katanya so melas.

"Sumpah, Van. Kali ini enggak. Dengerin gue dulu, kek."

"Hmm?"

"Lo mah gitu ah, pulang sana! Gue ga butuh elo!"

"Iya iya, Raya. Apaan?"

Raya menarik nafasnya. Cukup panjang. Karena sedari tadi semuanya terasa berat. Namun percuma saja, semuanya masih terasa sesak. Selang beberapa detik, ia menghembuskan nafas berkali-kali. Kata orang, dengan membuang nafas secara teratur itu akan membuat kini tenang. Dan wush, perasaannya kini sedikit lebih baik. Ditatapnya wajah pria yang ada dihadapannya. Ada perasaan nyaman ketika kedua maniknya beradu. Ada perasaan bersalah ketika pria itu menyunggingkan bibirnya.

Revano Faiz. Seorang pria yang ditemuinya tahun lalu, saat ia dan dirinya sama-sama berstatus sebagai siswa kelas XI. Tanpa diduga, Revan menjadi bagian dari hidupnya.

"Razi udah punya cewe, Van. Dan gak nyangkanya lagi cewenya itu orang yang gue kenal. Ya meskipun gak sekelas sih, tapi kan tetep aja cewenya gue kenal. Kita juga sering ngobrol gitu kalo di kantin. Lo paham gak sih perasaan gue?

"Gue yang dari dulu suka sama Razi. Masa cewe itu yang dapet. Kan gue kezel, Van." tuturnya pelan. Nafasnya tiba-tiba tercekat. Jantungnya seolah dihantam berbagai macam benda keras. Tatapannya kini jadi sendu, seluruh bagian tubuhnya seolah lumpuh, iya, dia ternyata kacau.

Revan memperhatikan dengan seksama tanpa ingin memotong apa yang dituturkan gadis dihadapannya. Dan entah mengapa, ada bagian pada dirinya yang terasa ngilu.

"Dan lo tau siapa cewe itu?"

Revan hanya menaikkan satu alisnya, ia tak ingin jika suaranya nanti membuat gadis ini semakin tertekan. Revan hanya ingin menjadi pendengar yang baik. Untuk saat ini.

"Bian. Bianca Dini Argatha." jawabnya berat. Seolah nama itu telah menjadi karbondioksida dalam jantungnya yang menyebabkan ia semakin sesak.

Tangisnya kembali pecah. Benar kata Revan, gadis ini benar-benar tak perlu membahas alasan dibalik ini semua. Karena Revan tau, gadis ini akan kembali terisak. Bahkan sekarang, lebih dari sebelumnya.

Raya kembali memeluk kedua lututnya. Ia menunduk, menatap ponselnya yang tergeletak diantara dirinya dan Revan. Senyumnya getir. Benda kecil itu mengingatkan dirinya pada sosok Razi. Sederhana memang. Razi hanya tak sengaja mengambil ponsel Raya yang terjatuh, dan kejadian itu membuat Raya seolah mabuk.

"Udah gue bilang, jangan cerita."

Raya & RevanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang