Suminah duduk diam terpekur di lantai. Di ruangan beton yang berbalut penuh warna putih itu, dia memandang jauh ke jendela tanpa gordent di hadapannya, dengan pikiran yang kosong ia meraba-meraba akan rencana Tuhan yang tengah menimpanya. Wajah sendu meraut jelas di pelipis mata Suminah. Sudah enam dekade dia hidup di dunia, tapi enam dekade pula ia hanya digauli oleh rasa hampa.
"Tokk! Tokk! Tokk!" Ketukan pintu terdengar keras. Tapi, tidak sakalipun Suminah terkejut atau berbalik arah pandang. Posisinya tetap sama. Memandang sejurus ke luar jendela.
"Assalamualaikum" Seorang wanita yang berusia dua puluh tahunan datang menghampiri Suminah. Senyum khas miliknya menempel lekat pada wajah wanita itu.
"Waalaikumsalam" Jawab Suminah dengan intonasi datar.
Tanpa permisi wanita itu langsung membereskan tempat tidur Suminah. Tangannya telaten dan sangat mengetahui siku-siku tempat tidur Suminah. Pakaiannya yang senada tidak ia hiraukan akan menjadi berantakan atau tidak. Dengan segala pula ia langsung membereskan barang-barang yang berserakan di ruangan itu, ruang tidur Suminah.
"Jam berapa nak?" Suminah memecah keheningan. Dia beranjak menuju sebuah lemari kecil yang sedang dirapikan oleh wanita itu.
"Jam tujuh bu. Ibu mau mandi?" Suminah mengangguk pelan menjawab pertanyaan wanita itu, "saya siapkan dulu air hangatnya. Tunggu sebentar disini." Wanita itu bergegas pergi, meninggalkan Suminah di ruangan sepi itu.
Ruangan yang hanya berukuran 3x4 meter itu merupakan ruangan favorit bagi Suminah. Hanya berisi sebuah ranjang untuk satu orang, sebuah meja kecil kecoklatan dan lemari kecil yang warnanya senada dengan lemari yang ada disana. Suminah tidak terlalu suka tempat ramai. Pernah suatu hari, dihari pertama ia pindah, Suminah menuju sebuah taman, tapi entah mengapa tiba-tiba saja ia mendadak muntah. Ucapnya kepada orang-orang bahwa perutnya seperti digelitik karena terlalu banyak orang. Memang tidak ada yang percaya pada dirinya. Tapi, semenjak kejadian 4 tahun lalu itu, Suminah terus-terusan mengurung dirinya.
Pikiran Suminah melayang. Tanpa arah kakinya dilajukan kedepan. Melangkah entah kemana. Beberapa saat teringat olehnya akan sebuah dimensi mengenai realita kehidupannya dimasa lalu. Suminah teringat suami dan tiga orang anaknya yang telah berkeluarga. Masa-masa keemasannya. Masa dimana keluarga adalah segalanya. Masa dimana ia menjadi seorang ibu yang utuh, ibu yang sempurna.
Tanpa alas kaki, Suminah terus melangkah. Sekelebat segala hal yang ada di hadapannya berubah samar, membayang, menjadi gelap. Suminah tumbang tepat di halaman depan. Orang-orang riuh berkerumun. Beberapa diantaranya hanya melihat, bercakap-cakap perkataan kosong, sebagian bahkan tidak mempedulikan Suminah. Hingga beberapa orang pria datang dari dalam dan segera membawa Suminah kedalam kamar.
"Ada apa pak?" Seketika wanita yang menemani Suminah tadi berlari dari kamar mandi. Tanpa pikir panjang ia berhenti dari aktivitasnya yang tengah menyiapkan air mandi untuk Suminah.
"Pingsan lagi. Mungkin penyakitnya kambuh. Padahal sudah beberapa hari ini tidak kumat," Kedua orang itu terdiam. Memperhatikan Suminah yang tengah terbaring lemas diatas ranjang, "Mirna, saya tinggal dulu ya." Mirna mengangguk pelan dan langsung mengusapkan minyak angin kepada Suminah. Berharap Suminah lekas sadar.
Mirna memperhatikan Suminah dalam diam. Orang yang baru saja diajaknya bicara kini sedang tidak sadarkan diri. Meskipun mereka baru saling mengenal, Mirna telah memiliki ikatan batin yang cukup kuat dengan Suminah. Mirna menganggap Suminah sebagai ibunya yang telah lama meninggal.
"Bu!" Seorang pria berstelan jas dan sepatu pantofel mahal melangkah masuk ke ruangan melati nomor 14 itu. Sekejap lamunan Mirna pecah. "Ibu saya kenapa mbak?" Dengan cepat pria itu mengajukan pertannyaan pada Mirna.