Prolog

22.4K 385 8
                                    

Hujan membasahi kota dengan derasnya. Sejak siang tadi langit memang sudah mendung. Seperti sebuah kutipan yang mengatakan kalau mendung belum tentu hujan, Adina mengabaikan mendung tersebut dan tidak membawa payung. Membuat gadis cantik berdarah Sunda-Minang itu terjebak hujan sudah lebih dari 2 jam yang lalu.

Adina mendongak menatap langit yang masih kelabu. Hujan tidak kunjung berhenti. Airnya terus mengalir dari langit. Bahkan sekarang sudah sore menjelang malam. Hawa dingin mulai menyapa tubuh Adina yang tidak dibalutkan pakaian hangat. Ia berdiri bersama para pejalan kaki lainnya dan beberapa pengendara motor yang meneduh di teras deretan toko yang sudah tutup.

Ponselnya mati, membuat Adina tidak bisa menghubungi Mamanya untuk minta jemput. Atau tidak adiknya yang mungkin sekarang sedang asyik bermain playstation. Adina menggerutu pelan. Kakinya terasa sakit karena sudah terlalu lama berdiri. Ia menyenderkan punggungnya ke dinding toko. Masih mendongak menatap langit yang kelabu. Berharap hujan segera berhenti dan ia bisa kembali ke rumah secepatnya.

Tangan kirinya memegangi sebuah kantong plastik yang berisikan buku-buku tentang psikologi yang baru saja ia beli di toko buku. Adina berada di tahun terakhir SMA dan tertarik untuk mengambil jurusan Psikologi. Untuk itulah Adina sering membeli beberapa buku psikologi untuk mendalami ilmunya agar ia tidak merasa asing saat berada di bangku kuliah nanti.

Kegiatan rutin setiap hari Minggu untuk pergi ke toko buku tidak pernah Adina lewatkan. Tidak terkecuali Minggu ini. Biasanya Meyvi, si gadis asli Cina itu akan menemaninya. Namun Minggu ini Meyvi memiliki acara keluarga membuat Adina harus pergi sendiri.

Hujan masih belum reda. Adina menghela napas. Hari sudah mulai gelap. Satu persatu pejalan kaki mulai nekad menerobos hujan dan begitupun dengan pengendara motor. Hanya sisa beberapa orang saja. Adina terus bertahan sampai hujan reda karena ia tidak ingin basah kuyup sampai rumah dan kemudian demam. Adina bisa berhari-hari terbaring di atas tempat tidur jika ia terkena demam.

Sebuah keributan terdengar di tengah derasnya hujan. 5 orang pemuda nampak berlari menuju deretan toko tempat Adina berteduh. 5 orang pemuda itu berhenti di depan toko dan langsung adu jontos yang membuat Adina memekik kecil karena kaget. Begitupun dengan orang-orang yang masih berteduh bersamanya.

3 lawan 2, sepertinya. 3 orang bergaya preman dan 2 orang lagi sepertinya seumuran dengan Adina. Mereka berkelahi di tengah derasnya hujan. Tidak ada yang menghentikan perkelahian mereka. Adina terlalu takut untuk mendekat dan melerai 5 pemuda yang bertengkar seperti orang kesetanan.

"Anjing lo!"

"Bangsat!"

"Mati aja lo sana!"

"Pergi sana ke neraka, Setan!"

"Anjing!"

Umpatan kasar terdengar begitu jelas. Berkali-kali Adina memekik bersama para pejalan kaki dan pengendara motor yang masih berteduh. Darah nampak mengalir di wajah mereka masing-masing. Hingga kemudian, 3 preman itu tidak mampu melawan lagi dan langsung pergi begitu saja meninggalkan 2 pemuda yang sebaya dengan Adina.

2 pemuda itu melakukan fist bump, lalu tertawa puas. Mereka memenangkan perkelahian dan nampak sangat bangga. Tidak peduli dengan luka dan darah yang mengalir di tubuh mereka. Adina meringis ngeri saat melihat salah satu diantara mereka yang tidak mampu lagi berdiri. Adina melihat kalau pemuda itu harus menghadapi dua orang sekaligus tadi saat berkelahi.

Tanpa berpikir panjang, Adina meninggalkan kantong plastik dan tasnya di teras toko lalu menerobos hujan untuk membantu mengangkat pemuda yang nampaknya tidak kuat mengangkat temannya yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Adina nampak kesulitan membawa mereka mendekat ke teras toko untuk berteduh. Walaupun semua itu percuma karena tubuh mereka sudah basah kuyup.

Dari dekat, barulah Adina bisa melihat jelas dua pemuda tersebut. Berwajah bule, mungkin blasteran. Memiliki tubuh tinggi menjulang diluar batas normal remaja berusia 18 tahun seperti Adina.

Pemuda yang pertama, yang hanya melawan satu preman memiliki mata biru dengan rambut cepak. Terlihat begitu bad boy.

Pemuda yang kedua, yang menyenderkan tubuhnya dengan lemah ke dinding toko, mengeluarkan banyak darah dan ia tadi melawan dua preman sekaligus. Pemuda itu memiliki rambut gondrong. Dan saat mata coklat terang itu menatap Adina, Adina seketika gugup. Tampilan mereka sama-sama bad boy.

"Kalian gila ya? Hujan-hujanan terus berantem di tempat umum?! Mau buat tontonan gratis ala-ala film Hollywood? Kalau itu tujuan kalian, selamat! Kalian berhasil!" Adina mengoceh kesal. Padahal ia tidak kenal dengan dua pemuda ini dan ia berani memarahi dua pemuda yang baru saja mengalahkan 3 preman sekaligus.

Pemuda berambut cepak nampak tidak peduli dengan omelan Adina dan memilih menjauh dan duduk di teras toko. Sementara pemuda berambut gondrong bewarna coklat gelap itu terkekeh menampakan gigi putihnya yang rapih walaupun sedikit Adina melihat ada darah yang menempel di giginya.

"Lo malah ketawa? Lo pikir ini lucu?! Ha?!" Adina menatap sebal pemuda gondrong itu.

Lagi-lagi ia terkekeh. "Lucu! Lucu banget lihat ekspresi lo yang udah kayak emak-emak yang marah besar lihat anaknya pulang tawuran."

Adina menggembungkan pipinya kesal. Ia sudah akan berjalan menjauh dan mengambil tas dan kantong plastiknya, ia berencana akan nekad menerobos hujan. Adina mengurungkan niatnya saat ia mendengar ringisan dari pemuda gondrong itu.

"Awwh!"

Adina pun merogoh isi tasnya. Menemukan dua plaster dan menyodorkannya ke pemuda itu.

"Ini!"

Pemuda gondrong itu hanya menatap Adina dengan mata coklat terangnya yang indah.

"Iya! Gue tahu kalau ini nggak berguna banget buat nutupin luka lo. Tapi setidaknya lo bisa pake ini buat mengurangi rasa sakit," ujar Adina.

Sebuah seriangaian nampak di wajahnya. Memberikan kesan semakin tampan di wajahnya dan juga sedikit mengerikan. Bukannya mengambil plaster di tangan Adina, ia malah menarik Adina dan membuat Adina terjatuh tepat di atas pangkuannya.

"Hey! Apa-apaan ini?!" Adina memberontak namun rengkuhannya terlalu kuat.

"Gue Angkasa dan hari ini lo resmi jadi milik gue." Dan kemudian bibir pemuda yang mengaku bernama Angkasa itu mendarat di bibir Adina yang sontak membuat Adina kaget.

Sore itu, Angkasa berhasil mendapatkan ciuman pertama Adina dan memaksa Adina untuk menjadi miliknya. Adina tidak pernah menduga kalau ia akan mengenal pria gila seperti Angkasa. Sejak sore itu, cerita mereka dimulai.

HAIIIII!!!

Gue buat cerita baru nih! Tapi tenang aja, Roommate tetap gue urusin kok.

Semoga cerita ini sukses ya!! Amin. Hhe.

BOYFRIENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang