"Ris, lo ngerasa nggak selama kita di kampus ada juga hal-hal menarik kayak waktu kita SMA dulu."
"ngerasa sih, cuma nggak se-seru jaman SMA."
"iya lah, lo masih inget nggak waktu pertama kali masuk kelas pas semester 2? kita lari 10 keliling lapang cuma karena kita telat masuk kelasnya pak Arif."
"inget dong! yang waktu diputeran ketiga lo tiba-tiba pingsan kan? Padahal itu cuma akting doang biar nggak lari 7 keliling lagi. Hahaha."
"hahaha, kok lo masih inget aja sih, Ris? dulu gue payah banget sih baru aja lari 3 keliling udah pingsan. Hahaha."
"iya dong. oh iya, Lo inget nggak waktu si Haris baru pindah kesini? yang dia nangis di depan kelas itu loh?"
"oh iya iya, gue inget. kejaian itu kebetulan bukan? waktu kita habis bagiin angket?"
"hey, kalian lagi ngomongin apa tentang gue?"
"ice cream!!!!!!" aku dan Hani segera berlari menuju Haris yang baru saja datang bersama ketiga cup ice cream yang sudah kami tunggu. Dalam waktu sekejap makanan favorit kami itu sudah habis di makan tanpa sisa.
"dasar cewek." gumam Haris dalam hati.
Haris adalah sepupu jauhku yang pindah kemari untuk melanjutkan sekolahnya disini. Ia pindah kira-kira 2 tahun lalu. Ibuku yang mengantarnya ke rumah. Katanya, sepupuku ini lahir pada tahun yang sama sepertiku bahkan wajahnya pun hampir mirip denganku. Dulu ketika ia masih didaerahnya, prestasinya saat sekolah tidak tertandingi oleh siswa manapun disana, makanya ia dipindahkan kesini dengan harapan akan membawa nama baik daerahnya. Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di kampus yang sama sepertiku, Haris memang terkenal sebagai mahasiswa yang pandai. Bahkan tak jarang beberapa dosen memuji kemampuannya dengan mengikutsertakannya dalam berbagai lomba antar mahasiswa. Hasilnya, ia sering mendapat beasiswa. Dulu, ketika aku mengenalkannya pada sahabatku, Hani. Aku jadi berpikir aku beruntung berada diantara kedua orang cerdas ini. Yang satu sepupuku dan yang satu sahabatku.
"tadi ngomongin apa sih? ko gue ga diajak?" tanya Haris setelah menghabiskan ice creamnya.
"rahasia Ris. hahaha."
"awas lo yah entar gue do'ain TA kalian nggak lancar!"
"JANGAN!" seru aku dan Hani bersamaan. sementara Haris hanya terkekeh puas.
---
Apa aku salah mencintai sosok yang hatinya serupa denganku? Apa aku salah mencintai raga dalam sebuah keluarga? Apa aku salah menyimpan rasa untuk jiwa yang berikatan? Apa aku salah menyimpan rindu pada orang yang tak mungkin mencintaiku?
Aku memang terlihat baik-baik saja dari luar, tapi jauh didalam sini hatiku terasa perih, aku benar-benar sedih ketika mengingat kau adalah darah dalam nadiku sendiri. Hatimu sepasang dengan hatiku, jantungmu berdetak seperti jantungku, nafasmu berhembus bersama nafasku. Walaupun kita banyak kesamaan, tapi tidak mungkin ada rasa yang sama mengalir didalamnya. Walaupun hati kita sering bertautan, tidak mungkin ada ruang kosong untuk kutempati selain menjadi seorang saudara.
Sang semut yang sedang belajar mencintai jatuh pada lubang kecil yang dekat dengan tanah dimana ia dilahirkan. Belum sempat ia pergi jauh, belum sempat ia mengerti bagaimana caranya berjuang dan melindungi. Tapi, sang semut tak akan menyerah, walaupun ia harus berjuang sendirian, tanpa hasil, tanpa harapan, tanpa dukungan, bahkan tanpa keberanian untuk mati dalam perjalanan, ia tetap tak akan menyerah.
"lo kenapa, Ris? Kok keliatannya sedih gitu." tanya Haris yang tiba-tiba menghampiriku di ruang tengah.
"gue gak kenapa-kenapa kok, lagi pengen istirahat aja." aku berusaha menutupi getaran jantungku yang berdegup begitu kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Sang Semut
Short Story- tulisan jaman dahulu kala #1 (dengan sedikit perubahan)- ibu bilang aku tidak perlu menjadi seekor semut untuk mencintai. katanya, aku hanya butuh paham bagaimana mencintai seperti seekor semut. Aku tak mengerti, memangnya semut bisa jatuh cinta j...