Tanya Seokjin

594 87 30
                                    

Aku memandangi bayanganku di cermin. Wajah pucat, rambut lusuh, hanya seragam sekolahku yang terlihat bersinar. Aku tidak pernah menunggu hari ini datang. Aku tidak menginginkannya.

"Yoongi-ya, apa kau sudah siap? Ya Tuhan! Rapikan rambutmu! Kau sudah 18 tahun, tak sepantasnya bersikap seperti ini. Cepat sisir rambutmu dan segera sarapan. Kau akan ketinggalan bis jika 15 menit lagi kau tidak berangkat. Cepat!"

Aku hanya memandangi ibuku yang berjalan menuruni tangga, meninggalkan kamarku. Aku tidak pernah merasa cocok dengannya. Meskipun kami hanya hidup berdua setelah kematian ayahku 5 tahun lalu, tapi kami hampir tidak pernah berkomunikasi dengan benar. Biasanya hanya ibuku yang banyak bicara, menyuruhku ini itu, dan aku hanya menjawabnya dengan melakukan apa yang dia minta. Bukannya aku tidak bisa bicara sama sekali, hanya saja aku malas berkomunikasi dengannya.

"Kau mau aku menambahkan mayonaise ke dalam sandwichmu? Atau kau lebih suka saus cabai? Ah, tapi makanan pedas tidak begitu baik untuk tubuhmu. Bagaimana menurutmu?"

"Terserah kau saja."

"Apa maksudmu dengan "terserah kau saja"? Apa kau akan terus bersikap seperti ini? Ya Tuhan! Ini sudah 5 tahun! Aku juga sangat terluka dengan kematian ayahmu, aku sangat mencintainya. Tapi kita tetap harus hidup, sayang. Jangan menyalahkan dirimu terus-menerus."

"Maaf." aku meletakkan roti panggang yang baru kugigit dua kali di atas piring dan segera berdiri sambil menenteng tas sekolahku. "Aku berangkat."

"Lho? Kau belum menghabiskan sarapanmu, dan bekalmu belum kau bawa. Hei, Yoongi-ya! Jangan pura-pura tidak dengar. Yoongi-ya!"

Aku terus melangkah ke pintu depan, mengenakan sepatu, dan membanting pintu rumah di belakangku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Tidak, aku tidak membenci ibuku. Aku hanya kesal, karena setelah kematian ayah ia tetap dapat hidup dengan normal. Ia tetap dapat tersenyum dan tertawa, bahkan jatuh cinta dengan rekan kerjanya, tanpa merasa bersalah karena ia adalah penyebab kematian ayah. Kalau saja ibuku tidak memaksaku untuk mengikuti lomba piano saat itu, mungkin ayah tidak akan meninggal.

Aku berjalan sambil memperhatikan sekeliling. Ada beberapa toko kecil, sekitar 2 kedai tteokbokki, dan lebih banyak kedai minum. Wilayah ini adalah wilayah favorit bagi orang-orang dewasa. Aku tidak tahu apakah aku bisa beradaptasi setelah 3 kali berpindah-pindah rumah. Bahkan bisa kubilang wilayah ini adalah yang paling kubenci dibandingkan dengan rumah-rumah yang sebelumnya kutinggali. Di malam hari banyak pekerja-pekerja yang berdatangan untuk minum-minum. Suasana malam hari menjadi lebih ramai daripada siang hari, dan aku sangat membenci itu.

Ketika aku berjalan melewati sebuah kedai minum, aku melihat seorang anak laki-laki yang mengenakan seragam yang sama denganku. Ia baru saja berpamitan dan berbalik setelah menutup pintu kedai ketika matanya memandang ke arahku. Ia terlihat sedikit terkejut, kemudian melihat seragamku dan membungkukkan badannya. Setelah kubalas ia segera berlari meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Dasar. Anak di daerah ini pun menyebalkan." gerutuku.

Setelah aku sampai di halte bis, aku melihat banyak anak dari beberapa sekolah berbeda berada di sana. Sekitar 5 orang mengenakan seragam yang sama denganku, dan sekali lagi aku melihat anak yang kutemui tadi. Ia berdiri sendirian di barisan paling belakang sambil menundukkan kepalanya.

Aku berjalan menuju halte bis dan tanpa pikir panjang berdiri di sampingnya. Ia terlihat sangat terkejut dengan kedatanganku dan segera berpindah posisi menjauhiku. Aku tak habis pikir, apa memang anak di wilayah ini sangat tidak sopan atau aku sudah melakukan sesuatu yang salah. Belum sempat aku bertanya pada anak itu, bis telah datang.

Di dalam bis pun seperti itu, ia segera mengambil kursi paling belakang. Anak-anak yang lain berlaku seolah-olah tidak melihatnya. Karena merasa tidak enak, aku tidak berusaha mendekatinya dan mengambil bangku tengah.

Tanya SeokjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang