Apa yang aku coba rasakan belum pernah betul-betul sesuai, aku sudah terbiasa nggak terlalu perduli dengan kata hati sendiri. Termasuk saat berbaring di atas genting pukul tiga pagi, badanku jelas bilang kalau aku jauh lebih butuh tidur ketimbang ngaso dini hari cuma karena tenggelam dalam rasa kesepian-solitude.Memang apa bedanya sih kesepian didepan PC kantor dan kesepian diatas atap? Aku punya alasan tersendiri dong.
"Malam ini berasa lebih sepi dari kemarin."
Kopi yang kupegang hampir-hampir tumpah. Segera kuedarkan pandangan untuk mencari asal suara baritone barusan. Kusipitkan mata untuk memastikan apakah ada seorang-karena kalau sesosok, aku pasti akan langsung lari terbirit-birit. Yang netraku bisa tangkap hanya siluet pria dengan rambut keriting per.
"...Siapa?" Tanyaku takut-takut.
"The sky awake, so I'm awake. So we got to play."
Sebelum aku merespon pernyataan aneh pria itu, ada satu hal yang benar-benar bisa aku tangkap. Pria keriting ini pasti kerajingan nonton Frozen, Haqqul Yaqin deh aku
"Aku Henry, kamu?" Jujur aku masih belum bisa melihat wajah pria itu dengan jelas, aku lupa membawa kacamata.
"Isla." Kutatap langit lekat-lekat waktu menjawab itu. "Awoken sky?", gumamku pada diri sendiri.
"Aku suka malam macam begini.." Lanjut Henry.
Butuh waktu cukup lama bagiku untuk memproses ucapan Henry barusan. Elemen mana sih yang sebenernya sedang dia bicarakan?
"Malam penuh bintang mungkin bagus, tapi malam penuh awan yang terpapar jelas dengan bintang ngintip sana-seni jelas lebih.."
"Ajaib." Sergahku terlebih dulu sebelum Henry sempat menyelesaikan ucapannya.
"Sebenernya aku mau bilang lebih tenang, tapi ajaib masih bisa masuk kategori juga sih."
Kukedipkan mata beberapa kali, kuusap tengkuk dan telapak tanganku, mereka tidak berkeringat sama sekali. Ini aneh, aku tidak pernah bisa berbicara dengan orang asing tanpa merasa seperti ingin mati saja.
"A, aku, banyak deadline."
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung masuk kedalam gedung. Henry, dia pria yang aneh.
+++++++++++++
Peluh mungkin sudah menetes disana sedari tadi, dan aku masih lebih suka menunduk dalam-dalam. Memandangi ibu jari kaki yang mulai memucat dan punggung yang mulai terasa kebas.
Aku tidak pernah suka berada dikeramaian, aku bukanlah fans meeting lintas bidang seperti ini. Lebih banyak orang yang berada dalam satu ruangan, berarti harus lebih banyak juga aku berinteraksi.
Basa-basi, Aku mungkin-yah, gadis cemerlang, tapi aku sangat payah dalam berbasa-basi. Sialnya, Aku salah memilih tempat duduk kali ini, aku tidak tahu kalau Pak Pohan-salah satu PR senior di Publishing yang menaungi Majalah tempatku bekerja, yang terkenal selalu tidak pernah kehabisan bahan untuk berbincang itu, memilih duduk disampingku.
Awalnya Aku hanya mikut duduk disamping Bu is-panggilan sayang anak-anak kantor untuk Editor in chief kami Bu Isma Wihadi-Selain sebagai Editor, aku juga merupakan notulen perusahaan, penting bagiku untuk bisa mendengar secara gamblang apa saja perkataan atasanku itu. Berbeda dengan Bu Is yang sudah hapal diluar kepala mengenai kebiasaanku yang sangat pendiam dan hanya bersuara saat perlu, Pak Pohan yang lebih sering berada diluar dan hanya kekantor saat ada rapat besar saja, barang tentu tidak mafhum sama sekali.
Sejak tadi, Pak Pohan asik berceloteh mengenai anaknya yang sedang berkuliah di Gadjah Madha, dan Aku sudah kehabisan bahan basa-basi entah sejak kapan, aku hanya bisa nyengir kecut sekali.
"Main-main kerumah neng, anak saya cakep." Ujar Pak Pohan dengan senyuman lebar.
"Hehehe, iya pak."
Dan Aku tidak bisa lebih bersyukur saat Bu Is mulai angkat bicara, karena secara otomatis semua orang yang mengelilingi meja meeting akan diam.
"Seperti yang sudah kalian ketahui, tujuan meeting hari ini yaitu untuk membahas mengenai tema acara untuk ulang tahun ke-3 majalah kita Limerence. Jadi saya harap disini semua serius mendiskusikan hal yang penting dulu, agar waktu tidak terbuang banyak, saya paham para editor dan yang lain dikejar deadline."
Ada gumaman setuju dari seluruh penjuru ruangan, aku sendiri masih harus melakukan research untuk satu rubrik lagi, dan itu cukup membuatku sedikit sulit untuk fokus.
"Chairman, ingin kita sendiri yang menentukan ingin mengadakan acara apa, jadi kalau yang punya ide, silahkan sharing, sekarang."
Kukuh menyondongkan badannya padaku-dia Art Director Majalah kami, dengan gerakan mulut yang dibuat-buat, ia menanyakan apakah aku punya ide untuk tema acara.
Kuanggukkan kepala sembari berpura-pura melihat tulisan berantakan dikertas notes.
"Isla punya ide Bu Is!"
Rasanya ingin kusambit Kukuh saat itu juga, aku tidak pernah suka bicara didepan orang banyak seperti ini. Sialan, kucoret nama Kukuh dari daftar orang yang akan menerima kue brownies buatanku besok.
Sekarang Bu Is bahkan sudah menurunkan kacamata setengah bulan sabitnya. Kawan, aku beri tahu, dipeloti seorang Isma Wihadi bukanlah satu hal yang menyenangkan. Ia sudah biasa mengintimidasi public figure dengan matanya hanya demi kepentingan informasi.
"Saya rasa, Heritage Walk akan sangat..Menarik." Ucapku pada akhirnya.
Kusilangkan kedua jariku kencang-kencang, kumohon jangan ada yang tertawa, kumohon jangan ada yang tertawa.
"Oh, bagus, seperti yang di Jogja tahun lalu?" Diluar dugaan, Bu is terdengar sangat tertarik.
"Ah untuk sponsor utama, kita bisa kerjasama dengan ELIXIR, pasti mau mereka." Cecar Pak Pohan penuh antusias.
Elixir adalah perusahaan minuman jamu yang dikemas dengan modern, bisa dibilang rising star dikelas minuman. Mereka baru saja pindah kantor disebelah gedung dan kami dapat banyak produknya-Mereka juga pasang iklan FOB. Alasan yang sangat logis untuk mengajak mereka menjalin kerjasama.
"Karena ini ide Isla, saya tunjuk jadi wakil ketua ya? Ketuanya saya."
Baiklah Bu Is, itu lebih terdengar seperti perintah ketimbang penawaran. Bisakah ini jadi lebih buruk lagi?
"Hubungi Head of Promotionnya aja, Dita kalau nggak salah ya." Anita tersenyum lebar padaku, seperti biasa, sangat cantik-well, dia beauty editor sih, make sense.
"Udah ganti, Henry namanya, kemarin baru telpon saya." Sergah Pak pohan.
"Eh, siapa pak?" Tanyaku cepat.
Bu Is menelisik beberapa file didepannya dengan wajah datar, ia menatapku tajam sebelum membuka suara "Isla, coba kamu komukasi sama Henry, liat persentase kesiapan Elixir untuk kerjasama."
Dear kehidupan, saat aku bilang 'Bisakah ini jadi lebih buruk lagi' itu merupakan ungkapan kekecewaan, bukan tantangan, salam jari tengah terhangat, Isla, Editor yang kau anugerahi dengan Social Anxiety.
.
.
.
.
Dictionary
Chairman: Direktur
FOB: Front Of Book, beberapa halaman pertama majalah.
Social Anxiety: Merupakan gangguan mental pada manusia yang merupakan rasa cemas, gugup atau ketakutan Berlebihan di dalam lingkungan sosial. Perasaan tersebut muncul akibat adanya ketakutan pada diri sendiri akan dipermalukan atau dinilai alias 'judge' dilingkungan sosial.Author Note:
Holahooo, ketemu lagi diproject baru saya, terimakasih atas kesetiaan menunggu dan apresiasi pada Sweet Blackout. Jujur, saya masih belum bisa menjanjikan apa-apa, itulah kenapa saya tulis cerita ini masih coming soon. Semoga nggak kalah menarik dari Sweet Blackout yaa, seperti biasa, vote dan komen jika berkenan. See you soon Folks!
KAMU SEDANG MEMBACA
Henry Pukul Tiga Pagi
ChickLitHenry berpenampilan layaknya pria normal, tidak ada yang benar-benar wah dari doi, hidung yang agak tidak sesuai dengan ukuran wajahnya, serta kedua bola mata cekung yang acapkali merah karena terlalu sering begadang. Kulitnya sawo matang khas anak...