Edisi 1

138 17 5
                                        

Ini sudah keempat kalinya aku bolak-balik pantry untuk membasuh tangan. Tapi Kukuh malah sudah lima kali mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti kucing yang sedang menyembah whiskas.

Kulihat gelagat anehnya dari balik pintu yang langsung terhubung pada balkon kantor kami. Mata Kukuh nanar menatap layar gawai layaknya zombie pada masa apokalips.

Sebetulnya aku masih mempunyai​ satu tulisan yang harus ku edit sebelum jam lima sore ini, tapi suara aneh yang keluar dari pria kurus jangkung itu lama-lama membuatku penasaran juga.

"Mau taro dimana muka saya.." lirih Kukuh menyayat hati.

Setahuku ia baru saja punya anak dua bulan yang lalu, apakah dia telah melakukan hal yang sangat konyol hingga anak perempuan berusia dua bulan itu malu mengakui ia sebagai ayah?

Maksudku harusnya kan sekarang dia sedang senang-senangnya.

"Kuh? Kenapa?" Tanyaku hampir seperti bisikan.

Tepat setelah pertanyaanku, raut wajah pria jangkung itu berubah dengan drastis. Ia seakan lupa betapa menyedihkan situasinya tadi.

"La, dulu kamu juara debat kan?!" Kukuh menarik ujung kemejaku bersemangat.

"Emang kenapa?" Memang pernah, tapi itu kan debat antar kelas saat acara maulid nabi waktu SMA dulu.

"Paprikaa!!" Seru Kukuh keras.

"Eureka..."

"Nggak penting! Sekarang, kamu harus bantuin aku!"

"Bantuin apa deh.." Belum ada 10 detik sejak aku bertanya, dan sekarang aku sudah menyesal ampun-ampunan.

Kadang aku berpikir, seandainya aku tidak baik, mungkin aku tidak akan sering terjebak di situasi menyebalkan seperti ini.

"Nih, aku lagi adu argumen sama orang.." Jelas Kukuh bersemangat.

Tuhan, kumohon jangan bilang...

"Di Instagram.." Lanjut Kukuh.

Gustii, kenapa tebakanku harus tepat sih!

"Menurut kamu, kamu pro lockdown atau ga?" Tanyanya serius.

"Ih jangan menurut aku, kamu tadi jawabnya apa?" Lanjutku ogah-ogahan.

"Menurut aku sih lockdown itu perlu banget lah, cuma ada satu orang yang dari tadi songong banget nih, setiap argumen aku di smash mulu."

Kuputar mataku 90 derajat, aku hampir-hampir tidak  bisa mempercayai kalau ternyata seorang Kukuh,  masih suka debat kusir dengan orang asing di Internet. Memang tidak ada salahnya berdiskusi, tapi menurutku kalau memang tidak ada faedahnya terutama untuk diri sendiri untuk apa capek-capek? Kamu harus berhenti berdebat jika saat kamu beropini bukan semata mengeluarkan pendapat, namun hanya untuk mendapatkan validasi dari orang lain.

"Terus aku harus gimana dong Kuh?" 

Dengan sumringah ia membuka smartphonenya-sumpah, kupikir orang yang memakai password 1234 sudah punah, "Kamu punya akun IG kan? Buka deh akun IG SerakanNews disitu ada infografik masalah Lockdown di Italia, kamu reply komen aku kalo kamu setuju sama aku, kita serang orang itu!"

Kedengaran bodoh sekali rencana dia.

"Kalo kita menang aku traktir Lemper Kraton"

Apa-apaan kalau cuma Lemper sih..

"Dua lusin!" Putus Kukuh.

"Mana lah sini-sini." 

Lemper Kraton itu memang enak sekali, Sampai-sampai Bu is pernah bilang jika dunia sedang Chaos mungkin yang aku beli bukannya sembako tapi malah Lemper Kraton.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Henry Pukul Tiga PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang